Ada seorang Makmum yang mengerjakan sholat wajib misal Dzuhur, ternyata si Imam sedang mengerjakan sholat sunah. Bagaimanakah Hukumnya ?
Para ulama berbeda pendapat mengenai tata cara sholat seperti itu.
1. Pendapat pertama
Adalah madzhab Syafi'I mengatakan bahwa sah sholat
jamaah dengan perbedaan niat imam dan makmum secara mutlak. Jadi
meskipun imam sholat sunnah dan makmum sholat fardlu, imam sholat dhuhur
dan makmum sholat ashar, imam sholat ada' dan makmum sholat qadla,
semuanya sah, asalkan format sholat imam dan makmum sama. Kalau
formatnya beda, maka tidak sah, seperti misalnya imam sholat gerhana
dan makmum sholat isya', maka tidak diperbolehkan. Madzhab Syafi'I ini
merupakan madzhab yang paling longgar.
2. Pendapat kedua
Adalah madzhab
Maliki yang mengatakan tidak sah sholat imam dan makmum yang berbeda
niatnya, secara mutlak. Mereka yang sholat fradlu tidak boleh bermakmum
dengan imam yang sholat sunnah, begitu makmum sholat dhuhur tidak sah
bila imamnya sholat selain fardlu. Ini pendapat paling ketat.
3. Pendapat ketiga
Adalah madzhab Hanafi yang mengatakan bahwa boleh orang
sholat sunnah di belakang imam yang sholat fardlu tapi tidak sebaliknya.
Begitu juga tidak sah sholat makmum yang berbeda dengan sholat imamnya
meskipun sama-sama fardlu.
Dalil-dalil:
Dalil-dalil:
Dalil pendapat pertama adalah:
1. Hadist riwayat Syafi'I dari Abu Bakrah bahwa Rasulullah s.a.w.
keluar untuk mendamaikan satu persengketaan di Bani Sulaim, lalu beliau
membagi sahabatnya menjadi dua kelompok, kemudian beliau sholat
mengimami dengan kelompok satu, kemudian sholat lagi mengimami
dikelompok kedua. Diriwayatkan itu sholat maghrib.
Sangat jelas pada hadist tersebut bahwa Rasulullah mengimami kelompok kedua, padahal beliau telah sholat di kelompok pertama. Berarti sholat Rasulullah sunnah dan sholat makmum fardlu.
2. Hadist riwayat Muslim dari Jabir bin Abdullah bahwa Suatu hari Muadz sholat bersama Rasulullah s.a.w. lalu ia datang ke kaumnya lalu ia mengimami kaumnya sholat Isya' dengan membaca surat Baqarah, lalu seorang lelaki keluar dari jamaah dan menyelesaikan sendiri sholatnya. Orang-orang pun menegurnya "Apakah anda orang manafik?", iapun menjawab"Tidak, aku akan adukan masalah ini kepada Rasulullah". Sesampai kepada Rasulullah, orang itu berkata "Wahai Rasulullah, kami orang-orang bekerja siang, Muzdz telah mengimami kami sholat Isya' telah larut dan membaca surat Baqarah". Ketika Rasulullah mendengar cerita itu, ditegurnya Muad'z "Apakah angkau orang yang suka membuat fitnah? Mengapa tidak kau baca surat Sabbihis dan Wallaili Idza Yaghsyaa".
Hadist ini juga menunjukkan perbedaan sholat imam dan makmum, dimana Muadz telah sholat Isya bersama Rasulullah lalu menjadi imam di kaumnya. Bagi Muadz sholat sunnah dan bagi kaumnya sholat fardlu.
3. Hadist riwayat Ahmad dll. Suatu hari Rasulullah s.a.w. sholat bersama sahabatnya, selesai salam datanglah seorang lelaki ketinggalan lalu ia hendak sholat sendiri, lalu Rasuullah bersabda "Siapa yang mau bersedekah dengan orang ini dengan berjamaah dengannya".
Hadist ini juga menunjukkan sahnya sholat meskipun dengan perbedaan niat antara makmum dan imam.
Imam Syafi'I menyimpulkan bahwa riwayat-riwayat di atas menunjukkan bahwa perbedaan niat sholat antara imam dan makmum tidak membatalkan sholat jamaah.
Sangat jelas pada hadist tersebut bahwa Rasulullah mengimami kelompok kedua, padahal beliau telah sholat di kelompok pertama. Berarti sholat Rasulullah sunnah dan sholat makmum fardlu.
2. Hadist riwayat Muslim dari Jabir bin Abdullah bahwa Suatu hari Muadz sholat bersama Rasulullah s.a.w. lalu ia datang ke kaumnya lalu ia mengimami kaumnya sholat Isya' dengan membaca surat Baqarah, lalu seorang lelaki keluar dari jamaah dan menyelesaikan sendiri sholatnya. Orang-orang pun menegurnya "Apakah anda orang manafik?", iapun menjawab"Tidak, aku akan adukan masalah ini kepada Rasulullah". Sesampai kepada Rasulullah, orang itu berkata "Wahai Rasulullah, kami orang-orang bekerja siang, Muzdz telah mengimami kami sholat Isya' telah larut dan membaca surat Baqarah". Ketika Rasulullah mendengar cerita itu, ditegurnya Muad'z "Apakah angkau orang yang suka membuat fitnah? Mengapa tidak kau baca surat Sabbihis dan Wallaili Idza Yaghsyaa".
Hadist ini juga menunjukkan perbedaan sholat imam dan makmum, dimana Muadz telah sholat Isya bersama Rasulullah lalu menjadi imam di kaumnya. Bagi Muadz sholat sunnah dan bagi kaumnya sholat fardlu.
3. Hadist riwayat Ahmad dll. Suatu hari Rasulullah s.a.w. sholat bersama sahabatnya, selesai salam datanglah seorang lelaki ketinggalan lalu ia hendak sholat sendiri, lalu Rasuullah bersabda "Siapa yang mau bersedekah dengan orang ini dengan berjamaah dengannya".
Hadist ini juga menunjukkan sahnya sholat meskipun dengan perbedaan niat antara makmum dan imam.
Imam Syafi'I menyimpulkan bahwa riwayat-riwayat di atas menunjukkan bahwa perbedaan niat sholat antara imam dan makmum tidak membatalkan sholat jamaah.
Dalil pendapat kedua dan ketiga:
1. Hadist
diriwayatkan Bukhari dan Muslim dll. Rasulullah s.a.w. bersabda
"Sesungguhnya dijadikan imam untuk diikuti, ketika ia takbir maka
takbirlah, ketika ruku' maka ruku'lah ketika sujud sujudlah, ketika ia
sholat berdiri maka berdirilah …
Hadist tersebut menegaskan bahwa makmum harus mengikuti imam, perbedaan niat makmum menunjukkan sikap tidak mengikuti imam, maka tidak sah sholatnya.
2. Hadist riwayat Ashabus Sunan dari Barra' bin Azib, Rasulullah s.a.w. bersabda "Janganlah kalian berbeda, maka berbedalah hati kalian, sesungguhnya Allah dan MalakatNya mendoakan para mushalli di shaf pertama".
Hadist ini melarang berbeda dalam melakukan sholat, baik pada shaf maupun niat, maka perbedaan niat imam dan makmum menjadikan sholat tidak sah.
Imam Abu Hanifah nampak mencoba menggabung hadist-hadist di atas secara tekstual, bahwa hanya makmum sholat sunnah boleh mengikuti imam yang sholat fardlu seperti yang dicontohkan dalam hadist.
Hadist tersebut menegaskan bahwa makmum harus mengikuti imam, perbedaan niat makmum menunjukkan sikap tidak mengikuti imam, maka tidak sah sholatnya.
2. Hadist riwayat Ashabus Sunan dari Barra' bin Azib, Rasulullah s.a.w. bersabda "Janganlah kalian berbeda, maka berbedalah hati kalian, sesungguhnya Allah dan MalakatNya mendoakan para mushalli di shaf pertama".
Hadist ini melarang berbeda dalam melakukan sholat, baik pada shaf maupun niat, maka perbedaan niat imam dan makmum menjadikan sholat tidak sah.
Imam Abu Hanifah nampak mencoba menggabung hadist-hadist di atas secara tekstual, bahwa hanya makmum sholat sunnah boleh mengikuti imam yang sholat fardlu seperti yang dicontohkan dalam hadist.
HUKUM MENGQODLO SHALAT TERTINGGAL
Oleh : Ustadz Ahmad Daerobiy
بِسْمِ اللهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيْم
فَإِذَا
قَضَيْتُمُ الصَّلاةَ فَاذْكُرُوا اللهَ قِيَامًا وَقُعُودًا وَعَلَى
جُنُوبِكُمْ فَإِذَا اطْمَأْنَنْتُمْ فَأَقِيْمُوا الصَّلاةَ إِنَّ
الصَّلاةَ كَانَتْ عَلَى المُؤْمِنِيْنَ كِتَابًا مَوْقُوتًا
Maka
apabila kamu telah menyelesaikan shalat(mu), ingatlah Allah di waktu
berdiri, di waktu duduk dan di waktu berbaring. kemudian apabila kamu
telah merasa aman, Maka dirikanlah shalat itu (sebagaimana biasa).
Sesungguhnya shalat itu adalah fardhu yang ditentukan waktunya atas
orang-orang yang beriman. (QS. An-Nisa 103)
DIWAJIBKAN SEGERA MELAKUKAN QODLO
(وَيُباَدِرُ
بِفاَئِتٍ) مِنْ فَرْضِ صَلاَةٍ أَوْ غَيْرِهَا مَتَى تَذَكَّرَهُ
وُجُوْباً إِنْ فاَتَ بِغَيْرِ عُذْرٍ تَعْجِيْلاً لِبَرَاءَةِ الذِّمَّةِ
فَلاَ يَجُوْزُ لِغَيْرِ المَعْذُوْرِ أَنْ يُصَرِّفَ زَمنًا فيِ غَيْرِ
قَضَائِهِ كاَلتَّطَوُّعِ وَفَرْضِ الكِفَايَةِ وَفَرْضِ عَيْنٍ مُوَسَّعٍ
إِلاَّ فِيْمَا يَضْطُرَّ إِلَيْهِ كَالنَّوْمِ وَتَحْصِيْلِ مُؤْنَةِ مَنْ
تَلْزَمُهُ مُؤْنَتُهُ
Segera melakukan shalat qodlo
(melakukan di luar waktunya) dari shalat yang tertinggal, baik dari
shalat fardu atau selain selain shalat fardu. Dikala ingat akan shalat
yang tertinggal itu. Segera melakukan qodlo ini hukumnya wajib apabila
shalatnya tertinggal tanpa 'udzur (boleh tertinggal) kewajiban
segera mengqodlo ini adalah untuk segera melepaskan kewajiban yang masih
menjadi beban tanggungan. Dengan demikian orang yang tidak memiliki 'udzur
dalam meninggalkan shalat fardu dilarang untuk menggunakan waktu
hidupnya selain melakukan qodlo fardu tersebut, seperti dilarang
mendahulukan shalat sunnah dan shalat fardu kifayah (kewajiban kolektif), juga dilarang mendahulukan shalat fardu a'en
(kewajiban individu) yang waktunya leluasa, terkecuali waktu yang
digunakan untuk sesuatu yang dibutuhkan dalam hidup, seperti tidur dan
mencari nafqah untuk memenuhi kebutuha mereka yang wajib dalam
tanggungannya.
وَكاَلصُّوَرِ المُسْتَثْنَاةِ مِنْ
وُجُوْبِهَا الفَوْرِيَّةِ وَهِيَ مَسَائِلٌ مِنْهَا ماَ إِذَا خَافَ
فَوْتَ أَدَاءٍ حَاضِرَةٍ بِأَنْ عُلِمَ أَنَّهُ لَوْ اشْتَغَلَ بِقَضَاءِ
الفَائِتَةِ لَمْ يُدْرِكْ مِنْ وَقْتِ الحَاضِرَةِ مَا يَسَّعُ رَكْعَةً
فَيَبْدَأُ بِالحَاضِرَةِ وُجُوْبًا وَخَرَجَ بِفَوْتِ أَدَاءِ الحَاضِرَةِ
فَوْتُ جَمَاعَتِهَا فَإِذَا خَافَ فَوْتَهاَ بَدَأَ بِالقَضَاءِ ,
وَظَاهِرُ هَذَا أَنَّهُ يَبْدَأُ بِالفَائِتَةِ وَلَوْ بِعُذْرٍ وَأَنَّهُ
لاَ فَرْقَ بَيْنَ أَنْ يَرْجُو جَمَاعَةً غَيْرَ هَذِهِ أَوْلاَ
وَمِنْهَا مَا إِذَا لَمْ يُوْجَدُ إِلاَّ ثَوْبٌ وَاحِدٌ فيِ رُفْقَةِ
عُرَّاةٍ أَوْ ازْدَحَمُوْا عَلَى بِئْرٍ أَوْ مَكَانٍ لِلصَّلاَةِ فَلاَ
يُقْضَى حَتَّى تَنْتَهِيَ النَّوْبَةُ إِلَيْهِ , وَمِنْهَا فاَقِدُ
الطَّهُوْرَيْنِ إِذَا صَلَّى لِحُرْمَةِ الوَقْتِ ثُمَّ وَجَدَ خَارِجَ
الوَقْتِ تُرَابًا لاَ يَسْقُطُ بِهِ الفَرْضُ كَأَنْ كاَنَ بِمَحَلٍ
يَغْلِبُ فِيْهِ وُجُوْدُ المَاءِ فَلاَ يُقْضَى بِهِ إِذْ لاَ فَائِدَةَ
فِيْهِ , وَمِنْهَا ماَ إِذَا وَجَدَ غَرِيْقًا يَجِبُ إِنْقَاذُهُ
فَيَحْرُمُ اِشْتِغَالُهُ بِالقَضَاءِ
Shalat yang dikecualikan dari kewajiban shalat tunai ialah ada bebarapa gambaran ;
1.
Gambaran pertama ;
Apabila dikhawatirkan tertinggal shalat tunai,
seperti diyakini bahwa apabila sibuk melakukan shalat qodlo yang
tertinggal maka tidak dapat mengejar shalat tunai tepat di dalam
waktunya, yaitu waktu yang cukup untuk melaksanakan satu raka'at. Maka dalam kondisi ini adalah wajib mendahulukan shalat tunai.
Dan dikecuailkan dengan tertinggal shalat tunai ialah tertinggal
berjama'ah untuk shalat tunai, artinya apabila dikhawatirkan tertinggal
berjama'ah saja maka ia masih wajib mendahlukan shalat qodlo dari shalat
yang tertinggal tanpa 'udzur. Lebih jelasnya ialah dalam kondisi
seperti itu hendaknya mendahulukan shalat qodlo meskipun shalat qodlo
tersebut dari shalat tertinggal karena adanya 'udzur.
2.
Gambaran kedua ;
Apabila tidak ditemukan pakaian melainkan hanya satu
pakaian dan pakaian itu digunakan dua orang atau lebih, atau mengantri
masuk kamar kecil, atau mengantri mendapatkan tempat shalat maka jangan
dulu melakukan shalat qodlo sehingga sudah selesai dari kembali semua
itu (selesaikan dulu shalat tunai).
3. Gambaran ketiga ;
Apabila seorang yang tidak dapat melakukan dua cara bersuci (wudlu dan
tayamum) apabila ia melakukan shalat karena menghormati waktu kemudian
setelah keluar waktu shalat ia menemukan tanah untuk tayamum maka
kewajiban shalat fardunya tersebut tidak gugur, artinya kewajiban shalat
dinyatakan belum ditunaikan. Seperti seseorang berada di suatu empat
yang biasanya mudah mendapatkan air maka ia tidak dapat mendahulukan
shalat qodlo karena tidak ada manfaat untuk melaksanakan shalat
menghormati waktu.
4. Gambaran keempat ;
Apabila
menemukan orang yang tenggelam maka ia wajib menyelamatkannya dan haram
baginya untuk sibuk melaksanakan qodlo.
DISUNNAH SEGERA MELAKUKAN QODLO
وَيُبَادِرُ
بِفَائِتٍ اِسْتِحْبَابًا مُسَارِعَةً لِبَرَاءَةِ ذِمَّتِهِ إِنْ فاَتَ
بِعُذْرٍ فَإِنَّ وُجُوْبَ قَضَائِهِ عَلَى التَّرَاخِيْ وَالعُذْرُ
كَنَوْمٍ لَمْ يَتَعَدَّ بِهِ بِأَنْ كاَنَ قَبْلَ دُخُوْلِ الوَقْتِ أَوْ
فِيْهِ وَوَثَقَ بِيَقْظَتِهِ قَبْلَ خُرُوْجِهِ بِحَيْثُ يُدْرِكُ
الصَّلاَةَ فِيْهِ فَإِنْ كاَنَ مُتَعَدِيًا بِهِ كَأَنْ نَامَ بَعْدَ
دُخُوْلِهِ وَلَمْ يَثَقَ بِيَقْظَتِهِ فِيْهِ وَجَبَ القَضَاءُ فَوْرًا
وَحَيْثُ لَمْ يَكُنْ مُتَعَدِيًا بِالنَّوْمِ وَاسْتَيْقَظَ مِنْ نَوْمِهِ
وَقَدْ بَقِيَ مِنْ وَقْتِ الفَرِيْضَةِ ماَ لاَ يَسَعُ إِلاَّ الوُضُوْءَ
أَوْ بَعْضَهُ فَحُكْمُهُ حُكْمُ مَافاَتَهُ بِعُذْرٍ فَلاَ يَجِبُ
قَضَاؤُهَا فَوْرًا
Segera melaksanakan shalat qodlo.
Segera qodlo ini hukumnya sunnah, karena untuk membebaskan kewajiban
yang ditanggungnya. Sunnah segera ini apabila shalat tertinggal karena
ada 'udzur. Karena kewajiban mengqodlonya di atas keleluasaan. Yang
dimaksud 'udzur ini adalah seperti tidur yang tidak ada unsur sengaja.
Umpamanya tidur sebelum masuk waktu shalat atau tidur di dalam waktu
sahalat dan di duga kuat bisa bangun sebelum keluar waktu shalat,
sekiranya dapat melakukan shalat masih di dalam waktunya. Apabila tidur
ada unsure sengaja, maksudnya seperti tidur setelah masuk waktu shalat
dan dugaan kuatnya tidak akan bisa bangun dalam waktu shalat maka dalam
hal ini ia wajib qodlo saat itu juga. Sekiranya shalat tertinggal karena
ada faktor sengaja sebab tidur, ketika bangun dari tidur masih ada
tersisa waktu shalat fardu hanya sempat untuk melaksanakan wudlu saja
atau hanya sempat untuk melaksanakan sebagian wudlu, maka hukum shalat
ini adalah tertinggal sebab adanya 'udzur, maka tidak wajib mengqodlonya
saat itu juga.
وَمِنَ الأَعْذَارِ نِسْيَانٌ لَمْ يَنْشَأُ
عَنْ تَقْصِيْرِ فَإِنْ كَانَ عَنْ تَقْصِيْرِ كَاشْتِغاَلِ بِلَعْبٍ
فَلَيْسَ عُذْرًا وَاشْتَغَالُ بِمَا يَلْزُمُهُ تَقْدِيْمُهُ عَلَى
الصَّلاَةِ كَدَفْعٍ صَائِلٍ وَتُقْضَى الجُمْعَةُ ظَهْرًا
Diantara
'udzur dalam shalat ialah lupa yang timbul bukan dari kelalaian.
Apabila lupa shalat sampai tertinggal karena ada unsur lalai seperti
sibuk dalam permainan, maka tidak dinyatakan sebagai 'udzur. Dan yang
termasuk 'udzur ialah sibuk melakukan sesuatu yang wajib didahulukan
daripada pelaksanaan shalat, seperti menyelamatkan orang teraniaya. Dan
teknis melaksanakan qodlo jum'at adalah dengan cara melaksanakan shalat
dzuhur.
وَيُنْدَبُ قَضَاءُ النَّوَافِلِ المُؤَقَّتَةِ
دُوْنَ النَّفْلِ المُطْلَقِ وَذِي السَّبَبِ وَلَوْ كَانَ عَلَيْهِ
فَوَائِتٌ لاَيَعْلَمُ عَدَدَهَا قَضَى ماَتَحَقَّقَ تَرْكُهُ فَلاَ
يُقْضَى المَشْكُوْكُ فِيْهِ عَلَى مَاقَالَهُ القَفَالُ وَالمُعْتَمَدُ
مَاقاَلَهُ القَاضِى حُسَيْنِ أَنَّهُ يُقْضَى مَازَادَ عَلَى مَاتَحَقَّقَ
فَعْلُهُ فَيُقْضَى مَاذُكِرَ
Disunnahkan melaksanakan
qodlo shalat sunnah yang memaiki waktu, tapi tidak untuk shalat sunnah
mutlaq (tidak memiliki waktu). Juga disunnahkan melaksanakan qodlo dari
shalat sunnah yang memiliki sebab. Apabila seseorang mengaku memiliki
shalat yang tertinggal dan belum di qodlo, dan tidak diketahui jumlahnya
maka ia dapat mengqodlo hanya dari shalat yang diyakini tertinggal,
artinya jangan mengqodlo shalat yang masih dalam keraguan, hal ini
sebagaimana dikemukakan oleh Syekh Al-Qofal. Dan pendapat yang kuat
sebagaimana diungkakan oleh Al-Imam Al-Qodlo Husen adalah bahwa boleh
mengqodlo shalat melebihi kenyataan yang biasa dilakukannya, silahkan
mengqodlo shalat yang telah disebutkan (shalat yang tertinggal).
CONTOH NIAT SHOLAT QODLO
Contoh Niat Qodlo shalat fardu Dzuhur ;
أُصَلِّى
فَرْضَ الظُّهْرِ أَرْبَعَ رَكَعاَتٍ مُسْتَقْبِلَ القِبْلَةِ قَضاَءً
(مَأْمُوْماً/إِماَماً) ِللهِ تَعاَلىَ-أَللهُ أَكْبَرُ
“Saya melaksanakan shalat fardu Dzuhur empat raka’at menghadap kiblat qodlo (makmum/imam) karena Allah”
Contoh Niat Qodlo shalat sunnah Tahajud ;
أُصَلِّى سُنَّةَ التَّهَجُدِ رَكْعَتَيْنِ مُسْتَقْبِلَ القِبْلَةِ قَضاَءً ِللهِ تَعاَلىَ-أَللهُ أَكْبَرُ
“Saya melaksanakan shalat sunnah Tahajud dua raka’at menghadap kiblat qodlo karena All
HUKUM MENUNDA MELAKUKAN SHALAT
إِنَّ الصَّلاةَ كَانَتْ عَلَى المُؤْمِنِيْنَ كِتَابًا مَوْقُوتًا
Sesungguhnya shalat itu adalah fardhu yang ditentukan waktunya atas orang-orang yang beriman. (QS. An-Nisa 103)
وَاعْلَمْ
أَنَّ الصَّلاَةَ تَجِبُ بِأَوَّلِ الوَقْتِ وُجُوْباً مُوَسَعاً فَلَهُ
التَّأْخِيْرُ عَنْ أَوَّلِهِ إِلىَ وَقْتٍ يَسَعُهاَ بِشَرْطِ أَنْ
يَعْزَمَ عَلَى فَعْلِهاَ فِيْهِ , وَلَوْ أَدْرَكَ فيِ الوَقْتِ رَكْعَةً
لاَ دُوْنَهاَ فاَلكُلُّ أَدَاءً وَإِلاَّ فَقَضَاءً
Ketahuilah,
bahwa shalat wajib di awal waktu, wajib yang leluasa, artinya boleh
menunda shalat dari awal waktu sampai akhir waktu, yang memang cukup
waktu untuk melaksanakannya, ini dengan syarat berniat ‘azam
(direncanakan) akan shalat di waktu tersebut. Jika dalam waktu hanya
melakukan satu raka’at, tidak dibawah satu raka’at, maka semua raka’at
termasuk melakukan tunai, sedang jika tidak termasuk qodlo.
وَيَأْثِمُ
بِإِخْرَاجِ بَعْضِهاَ عَنِ الوَقْتِ وَإِنْ أَدْرَكَ رَكْعَةً نَعَمْ
لَوْ شَرَعَ فيِ غَيْرِ الجُمْعَةِ وَقَدْ بَقِيَ ماَ يَسَعُهاَ جاَزَ لَهُ
بِلاَ كَرَاهَةٍ أَنْ يَطَوِّْلُهاَ بِالقِرَاءَةِ أَوْ الذِّكْرِ حَتَّى
يَخْرُجَ الوَقْتُ وَإِنْ لَمْ يُوَقِعُ مِنْهاَ رَكْعَةً فِيْهِ عَلَى
المُعْتَمَدِ فَإِنْ لَمْ يَبْقَ مِنَ الوَقْتِ ماَ يَسَعُهاَ أَوْ كاَنَتْ
جُمْعَةً لَمْ يَجُزْ المَدُّ وَلاَ يُسَنُّ الاِقْتِصاَرُ عَلَى
أَرْكاَنِ الصَّلاَةِ ِلإِدْرَاكِ كَلِّهاَ فيِ الوَقْتِ
Seseorang
berdosa, jika menunda shalat sampai melakukan shalat melewati batas
waktu, meskipun dalam waktu dapat melakukan satu raka’at. Betul
demikian, jika mau melakukan shalat selain jum’at lalu masih tersisa
waktu melakukan shalat, baginya boleh tanpa makruh, memperpanjang bacaan
dan dzikir shalat, sampai melewati batas waktu shalat, meskipun tidak
satu raka’at-pun masuk dalam waktu, ini menurut pendapat kuat.
Sebaliknya jika tidak tersisa cukup waktu atau shalatnya shalat jum’at
maka tidak boleh memperpanjang bacaan dan dzikir. Dan juga tidak
disunnahkan mempersingkat rukun-rukun shalat karena untuk mengejar semua
raka’at shalat dalam waktu.
(فَرْعٌ) يُنْدَبُ تَعْجِيْلُ
صَلاَةِ وَلَوْ عِشَاءً ِلأَوَّلِ وَقْتِهاَ لِخَبَرٍ "أَفْضَلُ
الأَعْماَلِ الصَّلاَةِ ِلأَوَّلِ وَقْتِهاَ" وَتَأْخِيْرُهاَ عَنْ
أَوَّلِهِ لِتَيَقُنِ جَماَعَةٍ أَثْناَءَهُ وَإِنْ فَحِشَ التَّأْخِيْرُ
مَا لَمْ يَضِقُ الوَقْتُ وَلِظَنِّهاَ إِذَا لَمْ يَفْحُشْ عُرْفاً لاَ
لِشَكٍّ فِيْهاَ مُطْلَقاً
(Sub Bahasan) disunnahkan segera
melakukan shalat meskipun isya agar diawal waktu, berdasarkan hadits
“Perbuatan shalat yang paling utama ialah melakukan shalat diawal
waktu”. (HR. Thabraniy). Juga disunnahkan menunda shalat jika yakin akan
berjama’ah, meski kurang baik menunda shalat, ini jika tidak sempit
waktu, dan berdasar dugaan akan berjama’ah jika baik menurut kebiasaan,
bukan karena ragu akan berjama’ah, mutlak.
وَالجَماَعَةُ
القَلِيْلَةُ أَوَّلَ الوَقْتِ أَفْضَلٌ مِنَ الكَثِيْرَةِ آَخِرَهُ ,
وَيُؤَخِّرُ المُحْرِمُ صَلاَةَ العِشاَءِ وُجُوْباً ِلأَجْلِ خَوْفِ
فَوَاتِ حَجٍّ بِفَوْتِ الوُقُوْفِ بِعَرَفَةَ لَوْ صَلاَّهاَ مُتَمَكِّناً
ِلأَنَّ قَضَاءَهُ صَعْبٌ وَالصَّلاَةُ تُؤْخَرُ ِلأَنَّهاَ أَسْهَلُ مِنْ
مَشَقَتِهِ وَلاَ يُصَلِّيْهاَ صَلاَةَ شِدَةَ الخَوْفِ , وَيُؤَخِّرُ
أَيْضاً وُجُوْباً مَنْ رَأَى نَحْوَ غَرِيْقٍ أَوْ أَسِيْرٍ لَوْ
أَنْقَذَهُ خَرَجَ الوَقْتُ
Berjama’ah sedikit di awal
waktu lebih utama dari pada berjama’ah banyak di akhir waktu. Seorang
ihram (haji) wajib menunda shalat isya karena khawatir tertinggal haji
sebab tertingal wukuf di ‘Arafah, ini jika ia shalat Isya di tempatnya,
karena qodlo wukuf lebih sulit maka shalat wajib ditunda karena ia mudah
dari pada kesulitan mengejar wukuf. Disini jangan melakukan shalat
dengan cara shalat Syiddatul-Khauf (karena sangat ketakutan). Dan wajib
menunda shalat bagi orang yang melihat dan akan menolong orang tenggelam
atau ditawan penjahat, meskipun menyelamatkannya sampai keluar waktu
shalat. (Shalat dapat diqodlo)
(فَرْعٌ) يُكْرَهُ النَّوْمُ
بَعْدَ دُخُوْلِ وَقْتِ الصَّلاَةِ وَقَبْلَ فَعْلِهاَ حَيْثُ ظَنَّ
الاِسْتِيْقَاظَ قَبْلَ ضَيْقِهِ لِعاَدَةٍ أَوْ ِلإِيْقاَظِ غَيْرِهِ لَهُ
وَإِلاَّ حَرُمَ النَّوْمُ الَّذِيْ لَمْ يَغْلِبُ فيِ الوَقْتِ
(Sub
Bahasan) Makruh tidur setelah masuk waktu shalat dan belum melakukan
shalat, ini jika diduga akan terbangun sebelum sempit waktu melakukan
shalat atau ada orang yang membangunkannya. Jika tidak seperti itu, maka
haram tidur di saat masuk waktu shalat dan belum melakukan shalat, yang
tidak dapat menguasai waktu.
(فَرْعٌ) يُكْرَهُ
تَحْرِيْماً صَلاَةُ لاَ سَبَبَ لَهاَ كاَلنَّفْلِ المُطْلَقِ وَمِنْهُ
صَلاَةُ التَّساَبِيْحِ أَوْ لَهاَ سَبَبٌ مُتَأَخِّرٌ كَرَكْعَتَيْ
اِسْتِخاَرَةٍ وَإِحْرَامٍ بَعْدَ أَدَاءِ صُبْحٍ حَتَّى تَرْتَفِعَ
الشَّمْسُ كَرُمْحٍ وَعَصْرٍ حَتَّى تَغْرُبَ وَعِنْدَ اسْتِواَءٍ غَيْرِ
يَوْمِ الجُمْعَةِ , لاَ ماَ لَهُ سَبَبٌ مُتَقَدِّمٌ كَرَكْعَتَيْ
وُضُوْءٍ وَطَوَافٍ وَتَحِيَّةٍ وَكُسُوْفٍ وَصَلاَةِ جِناَزَةٍ وَلَوْ
عَلَى غَاِئبٍ وَإِعاَدَةٍ مَعَ جَماَعَةٍ وَلَوْ إِماَماً وَكَفاَئِتَةِ
فَرْضٍ أَوْ نَفْلٍ لَمْ يَقْصِدْ تَأْخِيْرُهاَ لِلْوَقْتِ المَكْرُوْهِ
لِيُقْضِيْهاَ فِيْهِ أَوْ يُدَاوِمَ عَلَيْهِ
(Sub Bahasan)
Makruh Tahrim (sama dengan haram) melakukan shalat yang tidak memiliki
sebab, seperti shalat sunnah mutlaq termasuk shalat tasbih, atau shalat
yang sebabnya diakhir seperti shalat istihkoroh dan shalat ihram,
setelah shalat subuh sampai matahari terangkat satu tumbak, setelah
shalat asar sampai matahri terbenam, pada saat matahari tepat diatas
kepala kecuali hari jum’at. Tidak haram jika di waktu-waktu tersebut
melakukan shalat yang sebabnya didepan, seperti shalat sunnah wudlu,
shalat sunnah thowaf, shalat sunnah tahiyyatul masjid, shalat sunnah
gerhana, shalat jenazah, meskipun jenazah gaib, mengulang karena
berjama’ah meskipun imam, sama seperti qodlo shalat fardu, qodlo shalat
sunnah, yang tidak bermaskud menundanya karena untuk melakukannya di
waktu makruh atau rutin melakukannya di waktu makruh.
فَلَوْ
تَحَرَّى إِيْقاَعَ صَلاَةٍ غَيْرِ صاَحِبَةِ الوَقْتِ فيِ الوَقْتِ
المَكْرُوْهِ مِنْ حَيْثُ كَوْنِهِ مَكْرُوْهاً فَتَحْرُمُ مُطْلَقاً وَلاَ
تَنْعَقِدُ وَلَوْ فاَئِتَةً يَجِبُ قَضاَؤُهاَ فَوْرًا ِلأَنَّهُ
مُعاَنِدٌ لِلشَّرْعِ
Jika shalat yang bukan pemilik waktu,
sengaja dan khusus ditujukan untuk dilakukan di waktu makruh, yaitu
memang ternyata waktu makruh (abis subuh, asar atau matahari diatas
kepala), maka ia haram secara mutlak, dan shalatnya tidak sah, meskipun
shalat qodlo yang wajib melakukannya di saat itu juga, karena ia
melanggar aturan agama.
Pustaka : Kitab Fathul-Mu’in Syekh Zaenuddin Al-Malabariy
0 komentar:
Posting Komentar