.

.

Kamis, 15 Maret 2012

ADAB MURID SYADZALIYAH

(MURID)


Kriteria dan Adab Murid
Untuk menjaga hubungan yang begitu penting antara seorang murid dengan guru mursyidnya, maka seorang murid yang sudah berbai’at thariqah Syadzaliyah harus memiliki kriteria-­kriteria serta adab dan tatakrama seperti yang disebutkan oleh as-Sayyidi Syekh al-Arifbillah al-Imam al-Mursyid al-Habib Muhammad Luthfi bin Ali bin Hasyim bin Umar bin Thoha bin Hasan bin Thoha bin Yahya Ba’Alawy–Pekalongan, di dalam Kitab al-Awrad ath-Thariqah asy-Syadzaliyah ’Aliyah’, yaitu sebagai berikut :
  1. Jangan mempersalahkan Guru. Artinya jika ada murid bai’at kepada Guru kemudian murid itu tidak segera mendapat futuh, jangan sekali-kali menyangka yang bukan-bukan dan menyalahkan kepada Guru, akan tetapi teliti dan salahkanlah dirinya dan nafsunya sendiri. Sebab tidak adanya segera terfutuh itu, kemungkinan mengandung hikmah yang besar yang tidak diketahui. Bisa juga sebab diri sang murid masih sangat kotor karena masih sangat besar ta’aluqnya kepada aghyar (selain Allah).
  2. Murid tidak boleh menyembunyikan sesuatu dan keadaan dirinya kepada Guru, baik dhohir maupun batin, jika ada masalah (dalam hal ilmu, maisah -pekerjaan atau nafakah dan kesusahan pribadi) supaya berkata sejujurnya di hadapan Guru. Karena dengan itu Insya Allah Guru dapat memberi jalan keluar bagi masalahnya.
  3. Murid jangan sampai melakukan perkara yang menyebabkan mamqut atau mendapat murka dari Allah sebab ada ulama yang bersabda,” Innallaha yaghdlobu bi ghodobisy-syaikhi wa yardho li ridhoohu” (sesungguhnya Allah murka dengan murkanya sang Syaikh dan Allah pun akan ridho dengan ridhonya sang Syaikh).
  4. Murid agar meminta izin kepada Syaikh jika ingin melakukan suatu perkara. Terutama dalam hal perkawinan, pekerjaan dan tempat tinggal agar mendapat ridho dan doa restu dari sang Syaikh.
  5. Murid jangan membuat hati Gurunya ruwet atau susah dan berburuk sangka kepada Guru sebab semua tindakan Guru kepada murid itu pasti berdasarkan tujuan berbuat baik demi sang murid.
  6. Murid harus menetapi kepada Guru ketika berada di majelis zikir.Dan murid harus tanggap, athu diri terhadap perintah dan larangan Guru sehingga murid tidak perlu terlalu banyak bertanya atau meminta keterangan kepada Guru.
  7. Murid jangan menduakan Guru dengan seseorang di dalam masalah Mahabbah (kecintaan).
  8. Murid jangan hanya mujarodul i’tiqod artinya hanya mempunyai keyakinan yang baik kepada Guru, namun murid berusaha mempermudah segala perintah dan larangan Guru.
  9. Murid jangan sampai merubah dan berubah i’tiqod baiknya kepada Guru.
  10. Murid harus mempunyai rasa dan merasakan, bahwa dia selalu haus membutuhkan ilmu sang Guru, walaupun si murid menjadi lebih alim atau lebih pandai.
  11. Murid harus selalu memadukan hati di tawajjuh-kan kepada Allah, artinya selalu mengikuti perintah dan menjauhi larangan Allah SWT.
  12. Murid jangan mudah meninggalkan Guru. Sebab Sayyidi Syaikh Muhammad Wafa’ ra. Telah bersabda ,” Siapapun murid yang meninggalkan Guru, apalagi mendiamkan Guru maka murid tadi tidak bisa menerima bekas pengaruh (asrar), serta tidak bisa segera memperbaiki khotirul qolbi (gerakan hati).
  13. Murid agar memperbanyak syukur kepada Allah jika murid tadi bisa sering berkumpul dengan Guru.
  14. Murid jangan sampai mempersulit Guru pada waktu tarbiyah (pendidikan atau pelajaran). Artinya sang murid mendengarkan dan mentaati apa-apa yang disyaratkan Guru ketika ditarbiyah.
  15. Murid jangan sampai mengatakan ”limaa” (mengapa) tentang suatu perkara kepada Guru. Seperti, mengapa Guru berkata seperti ini? Mengapa Guru bertindak seperti itu? dstnya. Sebab masyaikh thariqah telah mufakat bahwa murid yang mengucapkan lafal ”mengapa” kepada Guru, itu termasuk murid yang tidak beruntung di dalam bab thariqah.
  16. Murid tidak boleh mempunyai i’tiqod bahwa ia dapat menandingi Gurunya, walaupun  dia telah berhikmah kepada Guru seribu tahun lamanya dan menafkahkan seluruh hartanya. Barangsiapa yang terlintas dalam hatinya seperti yang disebutkan tadi maka murid tersebut bisa khuruj anit thorieq atau keluar dari thariqah dan terhitung merusakkan janji atau bai’at.
  17. Murid jangan datang kepada Guru, kecuali dia datang dengan membawa sifat tashdiq artinya mantap dan percaya kepada Guru. Walau sehari dapat menghadap seribu kali ia harus bisa mempunyai sifat tashdiq. Sebab Sayyidi Syaikh Ali bin Wafa’ telah berkata, ”Tidak adalagi murid yang menghadap Guru dengan hati yang tashdiq kecuali murid tadi menjadi golongan ahli dari Guru dan Guru tadi bisa juga menjadi wasilah terbukanya asrar sang murid disebabkan sifat tashdiq yang dimiliki oleh sang murid.”
  18. Murid jika menghadap Guru harus mempunyai niat ihtida’ artinya meminta petunjuk kepada Guru, merasa dirinya sangat membutuhkan petunjuk Guru.
  19. Murid jangan sampai mendahului berbicara kepada Guru kecuali darurat dan supaya sabar menunggu pertanyaan Guru dan ijin Guru untuk berbicara.
  20. Murid harus menetapi tata krama adab kepada Guru jangan sampai sekalipun memberanikan diri meminta kepada Guru agar dirinya menjadi orang yang keramat atau menjadi wali atau menjadi khalifah dan jangan meminta Guru untuk memperlihatkan karomahnya karena siapapun yang meminta kepada Gurunya untuk memperlihatkan karomahnya berarti murid tidak percaya kepada sang Guru.
  21. Murid jangan sampai memberatkan pendapat akalnya sendiri mengalahkan pendapat dan perkataan Guru.
  22. Murid harus memiliki i’tiqod bahwa Gurunya merupakan ahli kamal atau sempurna.
  23. Murid harus mendengarkan dan melaksanakan isyarat Guru dan harus sabar serta lapang dada jika Guru melarangnya melakukan suatu perkara.
  24. Murid tidak boleh meneliti tindakan Guru dan ahwal (keadaan) Guru sebab meneliti ahwal Guru bisa menyebabkan mamqut.
  25. Murid harus musholahah kepada Guru. Artinya jika Guru marah kepadanya harus segera shuluh (meminta maaf) walau murid tidak mengerti  kesalahannya.  Sebab murid yang tidak segera minta maaf atau meremehkan islah (damai) dengan Guru itu bisa menjadi khodzlan artinya rendah dan hina malah bisa menjadi sebab merosotnya maqam thariqahnya.
Didalam kitab Tarbiyyatul Muriddin wa tabyidis Salikin, menerangkan sebagai adabnya murid kepada guru Mursyidnya, yaitu:
  1. Mengagungkan Gurunya dhohiran wa bathinan. (lahir dan batin)
  2. Mengi’tiqodkan bahwa segala maksud serta upaya murid tidak akan berhasil, jika tidak sebab wasilah gurunya.
  3. Mengikuti, khidmat dan ridho dengan segala perintah Guru melakukan dengan badan dan hartanya.
  4. jangan menentang terhadap perkara yang dilakukan gurunya walaupun pada dhohirnya itu haram, bahkan harus dita’wilkan. Sesuai dengan kisah Nabiyullah Musa.as dengan Khidir.as yang diterangkan di dalam Al-Qur’an al-Karim surat al-Kahfi  ayat 60-82 sbb;
 Artinya:
60. dan (ingatlah) ketika Musa berkata kepada muridnya[885]: “Aku tidak akan berhenti (berjalan) sebelum sampai ke Pertemuan dua buah lautan; atau aku akan berjalan sampai bertahun-tahun”.

61. Maka tatkala mereka sampai ke Pertemuan dua buah laut itu, mereka lalai akan ikannya, lalu ikan itu melompat mengambil jalannya ke laut itu.

62. Maka tatkala mereka berjalan lebih jauh, berkatalah Musa kepada muridnya: “Bawalah kemari makanan kita; Sesungguhnya kita telah merasa letih karena perjalanan kita ini”.

63. Muridnya menjawab: “Tahukah kamu tatkala kita mecari tempat berlindung di batu tadi, Maka Sesungguhnya aku lupa (menceritakan tentang) ikan itu dan tidak adalah yang melupakan aku untuk menceritakannya kecuali syaitan dan ikan itu mengambil jalannya ke laut dengan cara yang aneh sekali”.

64. Musa berkata: “Itulah (tempat) yang kita cari”. lalu keduanya kembali, mengikuti jejak mereka semula.

65. lalu mereka bertemu dengan seorang hamba di antara hamba-hamba Kami, yang telah Kami berikan kepadanya rahmat dari sisi Kami, dan yang telah Kami ajarkan kepadanya ilmu dari sisi Kami[886].

66. Musa berkata kepada Khidhr: “Bolehkah aku mengikutimu supaya kamu mengajarkan kepadaku ilmu yang benar di antara ilmu-ilmu yang telah diajarkan kepadamu?”

67. Dia menjawab: “Sesungguhnya kamu sekali-kali tidak akan sanggup sabar bersama aku.

68. dan bagaimana kamu dapat sabar atas sesuatu, yang kamu belum mempunyai pengetahuan yang cukup tentang hal itu?”

69. Musa berkata: “Insya Allah kamu akan mendapati aku sebagai orang yang sabar, dan aku tidak akan menentangmu dalam sesuatu urusanpun”.

70. Dia berkata: “Jika kamu mengikutiku, Maka janganlah kamu menanyakan kepadaku tentang sesuatu apapun, sampai aku sendiri menerangkannya kepadamu”.

71. Maka berjalanlah keduanya, hingga tatkala keduanya menaiki perahu lalu Khidhr melobanginya. Musa berkata: “Mengapa kamu melobangi perahu itu akibatnya kamu menenggelamkan penumpangnya?” Sesungguhnya kamu telah berbuat sesuatu kesalahan yang besar.

72. Dia (Khidhr) berkata: “Bukankah aku telah berkata: “Sesungguhnya kamu sekali-kali tidak akan sabar bersama dengan aku”.

73. Musa berkata: “Janganlah kamu menghukum aku karena kelupaanku dan janganlah kamu membebani aku dengan sesuatu kesulitan dalam urusanku”.

74. Maka berjalanlah keduanya; hingga tatkala keduanya berjumpa dengan seorang anak, Maka Khidhr membunuhnya. Musa berkata: “Mengapa kamu membunuh jiwa yang bersih, bukan karena Dia membunuh orang lain? Sesungguhnya kamu telah melakukan suatu yang mungkar”.

75. Khidhr berkata: “Bukankah sudah kukatakan kepadamu, bahwa Sesungguhnya kamu tidak akan dapat sabar bersamaku?”

76. Musa berkata: “Jika aku bertanya kepadamu tentang sesuatu sesudah (kali) ini, Maka janganlah kamu memperbolehkan aku menyertaimu, Sesungguhnya kamu sudah cukup memberikan uzur padaku”.

77. Maka keduanya berjalan; hingga tatkala keduanya sampai kepada penduduk suatu negeri, mereka minta dijamu kepada penduduk negeri itu, tetapi penduduk negeri itu tidak mau menjamu mereka, kemudian keduanya mendapatkan dalam negeri itu dinding rumah yang hampir roboh, Maka Khidhr menegakkan dinding itu. Musa berkata: “Jikalau kamu mau, niscaya kamu mengambil upah untuk itu”.

78. Khidhr berkata: “Inilah perpisahan antara aku dengan kamu; kelak akan kuberitahukan kepadamu tujuan perbuatan-perbuatan yang kamu tidak dapat sabar terhadapnya.

79. Adapun bahtera itu adalah kepunyaan orang-orang miskin yang bekerja di laut, dan aku bertujuan merusakkan bahtera itu, karena di hadapan mereka ada seorang raja yang merampas tiap-tiap bahtera.

80. dan Adapun anak muda itu, Maka keduanya adalah orang-orang mukmin, dan Kami khawatir bahwa Dia akan mendorong kedua orang tuanya itu kepada kesesatan dan kekafiran.

81. dan Kami menghendaki, supaya Tuhan mereka mengganti bagi mereka dengan anak lain yang lebih baik kesuciannya dari anaknya itu dan lebih dalam kasih sayangnya (kepada ibu bapaknya).

82. Adapun dinding rumah adalah kepunyaan dua orang anak yatim di kota itu, dan di bawahnya ada harta benda simpanan bagi mereka berdua, sedang Ayahnya adalah seorang yang saleh, Maka Tuhanmu menghendaki agar supaya mereka sampai kepada kedewasaannya dan mengeluarkan simpanannya itu, sebagai rahmat dari Tuhanmu; dan bukanlah aku melakukannya itu menurut kemauanku sendiri. demikian itu adalah tujuan perbuatan-perbuatan yang kamu tidak dapat sabar terhadapnya”.

[885] Menurut ahli tafsir, murid Nabi Musa a.s. itu ialah Yusya ‘bin Nun.
[886] Menurut ahli tafsir hamba di sini ialah Khidhr, dan yang dimaksud dengan rahmat di sini ialah wahyu dan kenabian. sedang yang dimaksud dengan ilmu ialah ilmu tentang yang ghaib seperti yang akan diterangkan dengan ayat-ayat berikut.

  1. Memilih apa yang menjadi pilihan Guru. Baik berupa ibadah atau adatjuz’iyyah atau kulliyah.
  2. Jangan membuka rahasia Guru walaupun telah tersebar ke orang banyak.
  3. Jangan mengi’tiqodkan terhadap kurangnya maqom Guru.
  4. Menjauhi perkara yang dibenci oleh Guru dan melakukan perjara yang disenangi Guru.

Adab Murid Terhadap Dirinya Sendiri, antara lain :
  1. Selalu merasa dilihat oleh Allah Ta’ala di dalam keadaan (tingkah lakunya) murid supaya dapat tersibukkan menjalankanlafal ”ALLAH ALLAH”  walaupun dalam keadaan bekerja.
  2. Mencari teman duduk yang baik, jangan duduk-duduk dengan orang yang buruk kelakuannya.
  3. Jangan berlebihan di dalam sandang pangan.
  4. Jangan tamak mengharapkan sesuatu barang yang berada dalam tangan orang lain.
  5. Jangan tidur dalam keadaan junub.
  6. Supaya me-langgeng-kan (nggantung wudhu) wudhu.
  7. Mengurangi / menyedikitkan tidur terlebih dalam waktu sahur.
  8. Jangan mujadalah ilmu (berdebat masalah ilmu) sebab itu dapat menyebabkan ghoflah (lupa) kepada Allah dan membutakan hati / menyebabkan hati menjadi gelap.
  9. Mau duduk-duduk bersama ikhwan ketika hati sedang sempit dan membicarakan adab thariqah.
  10. Jangan tertawa terbahak-bahak.
  11. Jangan (mujadalah ilmu / debat kusir).
  12. Takut siksa Allah dan memohon ampunan-Nya. Jangan merasa telah bagus amalnya dan dzikirnya.

Adab Murid Terhadap Temannya dan Orang Islam Seluruhnya. Antara lain :
  1. Memulai mengucapkan salam dan berbicara yang baik.
  2. Rendah hati kepada temannya. Dan melihat bahwa dirinya lebih rendah dari temannya.
  3. Saling menolong dengan temannya dalam amal kebaikan dan taqwa serta cinta kepada Allah.
  4. Dapat menerima alasan temannya (dapat memberi maaf kepada temannya).
  5. Mau mendamaikan teman-temannya yang sedang bertengkar.
  6. Menjenguk ketika temannya sakit dan ber-ta’ziah ketika temannya meninggal.
  7. Baik persangkaannya kepada temannya.
  8. Menepati janji kepada temannya.

TALQIN

Dzikir yang diucapkan / diamalkan itu harus hasil dari menirukan ucapan Guru ketika dibai’at. Karena dengan begitu berarti pengakuan bahwa dalam berdzikir itu dia hanya mengikuti atau berjamaah, bukan rekayasa sendiri atau berdiri sendiri. Adapun faedah talqin dzikir atau bai’at dzikir itu ada dua (2) macam yaitu faidah umum dan faidah khusus.

Di sini yang perlu diterangkan adalah faidah yang umum. Ketahuilah bahwa dengan mentalqinkan dzikir/berbai’at kepada seorang Guru mursyid berarti engkau masuk silsilahnya para muthasowiffin, yang artinya masuk dalam kalangan para wali Allah. Jadi jika engkau bai’at thariqah berarti engkau turut melakukan perkara yang dijalankan para kekasih Allah yang agung-agung.

Perumpamaan orang dzikir yang telah ditalqin/dibai’at oleh guru mursyid itu, seperti sebuah lingkaran rantai yang saling bergandengan hingga kepada induknya; pokoknya yaitu Baginda Nabi Rasulullah SAW. Jadi seumpama induknya diseret atau digoyang maka gandengannya akan turut tertarik. Sebagaimana rantai jika di depan ditarik maka yang belakang pun akan turut tertarik.

Dan silsilah para wali sampai kepada Rasulullah SAW itu bagaikan sebuah lingkaran dari lingkaran-lingkaran anak rantai yang saling berhubungan. Berbeda dengan dzikir yang belum bertalqin/berbai’at kepada seorang guru mursyid, ibarat anak rantai yang terpisah. Seumpama yang didepan itu ditarik, maka yang lain tidak akan ikut tertarik. 

Karena itu kita semua perlu bersyukur kepada Allah SWT bagi yang telah diberi kesempatan berbai’at atau ghirah (semangat) dan kemauan untuk berbai’at kepada seorang guru mursyid. Begitu pula perlu bersyukur kepada Allah SWT bagi kita yang telah diperkenankan olehnya mengenal dan mengetahui tentang thariqah berikut dengan adab tata caranya. Tinggal kewajiban kita untuk beristiqomah menjalaninya serta senantiasa menjaga dan menjalankan syari’at dengan sungguh-sungguh. Dan hendaknya juga dapat istiqomah didalam murabithah (merekatkan hubungan) dengan guru mursyid kita masing-masing.

Adab Murid Terhadap Guru Mursyidnya di dalam Kitab al-Adab Fii ad-Diin, Imam Abu Hamid Ghazali rhm. :
  1. Mendahului Gurunya di dalam memberi salam.
  2. Tidak banyak berbicara di hadapannya.
  3. Berdiri untuk menghormatinya manakala Gurunya berdiri.
  4. Tidak mengatakan atau mengungkapkan kepada Guru ”pernyataan si fulan (Guru atau Syaikh yang lain) berlawanan dengan pernyataan Anda”.
  5. Tidak bertanya atau berbicara pada temannya yang berada dalam satu majelis dengan Gurunya.
  6. Tidak tersenyum ketika ia berbicara (serius).
  7. Tidak menampakkan pendapat yang berbeda dengan Gurunya.
  8. Tidak memegangi / menarik bajunya.
  9. Tidak bertanya tentang sesuatu persoalan di jalanan, hingga Guru sampai ke rumah.
  10. Tidak banyak bertanya saat Guru sedang jenuh atau lelah.
Di dalam Kitab Risalah Al Wa’dhiyyah, Imam Ghazali menerangkan tata krama murid :
  1. Mendahulukan kesucian hati dari akhlak yang rendah dan sifat tercela, karena ilmu adalah ibadah dan sholatnya dari hati dan pendekatan batin (tawajjuh) kepada Allah.
  2. Memperkecil keterkaitan hati atau ta’aluq kepada kesibukan dunia. Dikatakan.” Ilmu tidak akan memberimu sebagian sampai kamu memberikan kepadanya keseluruhan”.
  3. Tidak menyombongkan ilmunya dan tidak membangkang kepada Gurunya. Tetapi tunduk dan patuh kepada nasihatnya seperti patuhnya pasien yang parah kepada dokter yang ahli.
  4. Penuntut ilmu yang masih pemula, hendaknya menghindari perbedaan pendapat ulama, baik berkaitan dengan ilmu dunia maupun ilmu akhirat.
  5. Seorang murid hendaknya tidak meninggalkan satu ilmu dari ilmu-ilmu yang terpuji dan tidak meninggalkan seluruhnya, kecuali melakukan kajian akan maksud dan tujuannya terlebih dahulu. Jika ada waktu ia dapat mendalaminya jika tidak maka mengambil yang terpenting saja.
  6. Tidak mempelajari suatu ilmu sekaligus, tetapi hendaknya secara berkala atau berjenjang dimulai dengan yang awal dan yang terpenting serta mengambil yang terbaik dari semuanya.
  7. Tidak mendalami suatu jenjang ilmu di atasnya sebelum jenjang ilmu di bawahnya dikuasai karena pada hakikatnya ilmu-ilmu itu disusun secara runut.
  8. Mengetahui faktor-faktor yang dengannya dapat mengetahui ilmu-ilmu yang terbaik.
  9. Niat murid hendaknya untuk memperbaiki lahir-bathin dan mendekatkan diri kepada Allah SWT.
  10. Hendaknya mengetahui bahwa hubungan suatu ilmu pengetahuan dengan niat pemiliknya (penyusun).

Di dalam Kitab At-Tasawuf fii al-Islam, Al Mursyid Sayyidi Syaikh Abdul Halim Mahmud asy-Syadzali ra. Berwasiat bagi para murid :
Langkah awal yang harus dijalani dan diperhatikan oleh para murid (orang yang berkehendak menuju Allah SWT) thariqah ini melangkah di atas jalan kejujuran hati yang benar agar mampu membangun berdasarkan prinsip yang shahih. Para Syaikh Tasawuf berkata,” Mereka terhalang untuk wushul (sampai kehadirat Allah Ta’ala) karena menyia-nyiakan ushul (prinsip-prinsip akidah).

Sayyidi Syaikh Abu Ali Ad-Daqqaq rhm. Berkata,”Awal kewajiban yang harus diperhatikan oleh murid adalah meluruskan akidah antara dirinya dengan Allah Ta’ala, bersih dari segala dugaan dan syirik, jauh dari kesesatan dan bid’ah, menuangkan berbagai bukti dan hujjah. Seorang murid menjadi cela bila ia mengaitkan diri pada suatu mazhab yang bukan mazhab dari thariqah ini. Hal ini karena hujjah dalam persoalan mereka lebih jelas daripada siapapun. Kaidah mereka lebih kuat dibanding mazhab manapun.”

Manusia adakalanya terpukau pada ayat dan hadist, adakalanya cenderung pada penggunaan akal dan pikiran. Sementara itu para Syaikh golongan tasawuf thariqah melampaui semunya. Bagi manusia pada umumnya, sesuatu bisa saja tampak ghaib, namun pada kalangan sufi thariqah hal itu tampak jelas. 

Bagi khalayak, pengetahuan merupakan tumpuan, namun bagi kalangan sufi thariqah, pengetahuan maujud dari Allah-lah Yang Maha Haqq. Karena mereka adalah kalangan yang selalu bertemu dengan Allah Azza Wa Jalla (ahlul wishol- ahli wushul). Sementara manusia pada umumnya berpihak pada pencarian bukti (ahlul istidlal).

Syarat Bai’at Thariqah :
  1. Aqil Baligh (umur lebih dari 18 tahun)
  2. Wanita yang sudah menikah harus mendapat izin dari suaminya
  3. Sebelum bai’at berpuasa sunah 3 hari : Senin, Selasa, Rabu atau Selasa, Rabu, Kamis.

Sebelum bai’at berniat :
  1. Niat wushul kepada Allah dengan mahabbah kepada Rasulullah SAW dengan cara ikut thariqah Syadzaliyah.
  2. Niat meninggalkan dosa besar dan mengurangi dosa kecil.
  3. Niat Takdzim kepada para Guru, Sholihin dan Auliya.

Awrad Thariqah :
  1. Diamalkan pada waktu ba’da (setelah) sholat Subuh dan ba’da sholat Maghrib.
  2. Jika kelupaan tidak diamalkan maka wajib diqodho (diganti).
  3. Ketika mau mengamalkannya harus dalam kondisi berwudhu atau suci. Dan posisinya duduk seperti tahiyat awal atau akhir.

Adab ketika berdoa kepada Allah selalu memohon :
  1. Minta diatur Allah di dalam agama, dunia dan akhirat.
  2. Minta dicukupkan oleh Allah di dalam agama, dunia dan akhirat.
  3. Minta diselamatkan oleh Allah di dalam agama, dunia dan akhirat.

Suluk Thariqah Syadzaliyah :
  1. Belajar atau mengajar, baik ilmu agama maupun ilmu umum.
  2. Diusahakan shalat fardhu berjama’ah.
  3. Membaca Al-Qur’an setiap hari walau hanya satu ayat.


DZIKIR
A. Pengertian Dzikir

Yang dimaksud dzikir di dalam thariqah adalah bacaan “Allah” atau bacaan “La ilaaha illallah”. Dzikir dengan bacaan ‘Allah’; yang biasanya dilakukan didalam hati, disebut dengan Dzikir Sirri atau Dzikir Khofi atau Dzikir Ismuz-Dzat, yang silsilahnya sampai kepada Rasulullah SAW melalui Sayyidina Abu Bakar Ash-Shiddiq RA. Sedang dzikir dengan bacaan ‘Laa ilaaha illallah’; yang biasanya dilakukan secara lisan , disebut Dzikir jahri atau Dzikir Nafi Itsbat, yang silsilahnya sampai kepada Rasulullah SAW melalui Sayyidina Ali bin Abi Tholib karramallahu wajhah. Kedua jenis dzikir dari kedua sahabat inilah yang menjadi sumber utama pengamalan thariqah, yang terus menerus bersambung sampai sekarang, kepada kita semua.

B. Talqin Dzikir

Di dalam thariqah ada yang disebut Talqinudz Dzikr, yakni pendiktean kalimat dzikir La ilaaha illallah dengan lisan (diucapkan) dan atau pendiktean Ismudz-Dzat lafadh Allah secara bathiniyah dari seorang Guru Mursyid kepada muridnya. Dalam pelaksanaan dzikir thariqah, seseorang harus mempunyai sanad (ikatan) yang muttasil (bersambung) dari guru mursyidnya yang terus bersambung sampai kepada Rasulullah SAW.  

Penisbatan (pengakuan adanya hubungan) seorang murid dengan guru mursyidnya hanya bisa terjadi melalui talqin dan ta’lim(belajar) dari seorang guru yang telah memperoleh izin untuk memberikan ijazah yang sah yang bersandar sampai kepada Guru Mursyid Shohibut Thariqoh, yang terus bersambung sampai kepada Rasulullah SAW. Karena dzikir tidak akan memberikan faedah yang sempurna kecuali melalui talqin dan izin dari seorang guru mursyid. 

Bahkan mayoritas ulama thariqoh menjadikan talqin dzikir ini sebagai salah satu syarat dalam berthariqoh. Karena sirr(rahasia) dalam thariqoh sesungguhnya adalah keterikatan antara satu hati dengan hati yang lainnya sampai kepada Rasulullah SAW, yang bersambung sampai ke hadirat Yang Maha Haqq, Allah Azza wa jalla.

Dan seseorang yang telah memperoleh talqin dzikir yang juga lazim disebut dengan bai’at dari seorang guru mursyid, berarti dia telah masuk silsilahnya para kekasih Allah yang agung. Jadi jika seseorang berbai’at Thariqoh berarti dia telah berusaha untuk turut menjalankan perkara yang telah dijalankan oleh mereka.

Perumpamaan orang yang berdzikir yang telah ditalqin/dibai’at oleh guru mursyid itu seperti lingkaran rantai yang saling bergandengan hingga induknya, yaitu Rasulullah SAW. Jadi kalau induknya ditarik maka semua lingkaran yang terangkai akan ikut tertarik kemanapun arah tarikannya itu. Dan silsilah para wali sampai kepada Rasulullah SAW itu bagaikan sebuah rangkaian lingkaran-lingkaran anak rantai yang saling berhubungan.

Berbeda dengan orang yang berdzikir yang belum bertalqin/berbai’at kepada seorang guru mursyid, ibarat anak rantai yang terlepas dari rangkaiannya. Seumpama induk rantai itu ditarik, maka ia tidak akan ikut tertarik. Maka kita semua perlu bersyukur karena telah diberi ghirah (semangat) dan kemauan untuk berbai’at kepada seorang guru mursyid. Tinggal kewajiban kita untuk beristiqomah menjalaninya serta senantiasa menjaga dan menjalankan syari’at dengan sungguh-sungguh. Dan hendaknya juga dapat istiqomah didalam murabithah (merekatkan hubungan) dengan guru mursyid kita masing-masing.

C. Dasar Talqin Dzikir

Di dalam mentalqin dzikir, seorang guru mursyid dapat melakukannya kepada jama’ah (banyak orang) atau kepada perorangan. Hal ini didasarkan pada riwayat Imam Ahmad dan Imam Thabrani yang menerangkan bahwa Rasulullah SAW telah mentalqin para sahabatnya, baik secara berjama’ah maupun perorangan.

Adapun talqin Nabi SAW kepada para sahabatnya secara jama’ah sebagaimana diriwayatkan dari Syidad bin Aus RA: “Ketika kami (para sahabat) berada di hadapan Nabi SAW, beliau bertanya: “Adakah di antara kalian orang asing?” (maksud beliau adalah ahli kitab), aku menjawab: “Tidak.” Maka beliau menyuruh untuk menutup pintu, lalu berkata: “Angkatlah tangan-tangan kalian dan ucapkanlah La ilaaha illallah!”  

Kemudian beliau melanjutkan: “Alhamdulillah, Ya Allah sesungguhnya Engkau mengutusku dengan kalimat ini (La ilaaha ilallah), Engkau perintahkan aku dengannya dan Engkau janjikan aku surga karenanya. Dan sungguh Engkau tidak akan mengingkari janji.” Lalu beliau berkata: “Ingat! Berbahagialah kalian, karena sesungguhnya Allah telah mengampuni kalian.”

Sedangkan talqin Beliau kepada sahabatnya secara perorangan adalah sebagaimana diriwayatkan oleh Yusuf Al-Kirwany dengan sanad yang sahih bahwa Sahabat Ali bin Abi Thalib karramallahu wajhah pernah memohon kepada Nabi SAW : “Ya Rasulullah, tunjukkan aku jalan yang paling dekat kepada Allah, yang paling mudah bagi para hambaNya dan yang paling utama di sisiNya!” Maka beliau menjawab: “Sesuatu yang paling utama yang aku ucapkan dan para nabi sebelumku adalah La illaaha illallaah.  

Seandainya tujuh langit dan tujuh bumi berada diatas daun timbangan dan La illaaha illallaah diatas daun timbangan satunya, maka akan lebih beratlah ia (La illaaha illallaah),”  lalu lanjut beliau: “Wahai Ali, kiamat belum akan terjadi selama di muka bumi masih ada orang yang mengucapkan kata Al­lah.”  

Kemudian Sahabat Ali berkata: “Ya Rasulullah, bagaimana aku berdzikir menyebut Allah?,” Beliau pun menjawab: “Pejamkan kedua matamu dan dengarkan dariku tiga kali, lalu tirukan tiga kali dan aku akan mendengarkannya.” Kemudian Nabi SAW mengucapkan La ilaaha illallah tiga kali dengan memejamkan kedua mata dan mengeraskan suara beliau, lalu Sahabat Ali bergantian mengucapkan La illaaha illallaah seperti itu dan Nabi SAW mendengarkannya. Inilah dasar talqin dzikir jahri (La illaaha illallaah).

Adapun talqin dzikir qolbi yakni dengan hati tanpa menggerakkan lisan dengan itsbat tanpa nafi, dengan lafadh Ismudz-Dzat (Allah) yang diperintahkan Nabi SAW dengan sabdanya: “Qul Allah tsumma dzarhum” (Katakan “Allah” lalu biarkan mereka), adalah dinisbatkan kepada Ash-­Shiddiq Al-Adhom (Abu Bakar Ash-Shiddiq RA) yang mengambilnya secara batin dari Al-Mushthofa SAW. Inilah dzikir yang bergaung mantap di hati Abu Bakar. Nabi SAW bersabda: “Abu Bakar mengungguli kalian bukan dikarenakan banyaknya puasa dan shalat, tetapi karena sesuatu yang bergaung mantap di dalam hatinya.” Inilah dasar talqin dzikir sirri.

Semua aliran thariqah bercabang dari dua penisbatan ini, yakni nisbat kepada Sayyidina Ali karramallahu wajhah untuk dzikir jahri dan nisbat kepada Sayyidina Abu Bakar RA untuk dzikir sirri. Maka kedua beliau inilah sumber utama dan melalui keduanya pertolongan Ar-Rahman datang. 

Nabi SAW mentalqin kalimah thoyyibah ini kepada para sahabat radliallahu ‘anhum untuk membersihkan hati mereka clan mensucikan jiwa mereka, serta menghubungkan mereka ke hadirat Ilahiyah (Allah) dan kebahagiaan yang suci murni. Akan tetapi pembersihan dan pensucian dengan kalimat thoyyibah ini atau Asma-asma Allah lainnya itu, tidak akan berhasil kecuali apabila si pelaku dzikir menerima talqin dari syaikhnya yang alim, amil, kamil, fahim terhadap makna Al-Qur’an dan syari’ah, mahir dalam hadits atau sunnah dan cerdas dalam hal ‘aqidah dan ilmu kalam, dimana syekh tersebut juga telah menerima talqin kalimah thoyyibah tersebut dari syaikhnya yang terus bersambung dari syaikh agung yang satu dari syaikh agung lainnya sampai kepada Rasulullah SAW.


D. Adab Berdzikir
Untuk melaksanakan dzikir di dalam thariqah ada tata krama yang harus diperhatikan, yakni Adab Berdzikir. Semua bentuk ibadah bila tidak menggunakan tata krama atau adab, maka akan sedikit sekali faedahnya. Dalam kitab Al-Mafakhir Al-Aliyah fil Ma-atsir Asy-Syadzaliyah disebutkan pada fasal Adabudz-dzikr, sebagaimana dituturkan oleh Asy-Syekh Abdul Wahab Sya’rani.ra bahwa adab berdzikir itu banyak, tetapi dapat dikelompokkan menjadi 20 (dua puluh), yang terbagi menjadi tiga bagian; 5 (lima) adab dilakukan sebelum berdzikir, 12 (dua belas) adab dilakukan pada saat berdzikir dan 3 (tiga) adab dilakukan setelah selesai berdzikir.

Adapun 5 (lima) adab yang harus diperhatikan sebelum berdzikir adalah;
  1. Taubat, yang hakekatnya adalah meninggalkan semua perkara yang tidak berfaedah bagi dirinya baik yang berupa ucapan, perbuatan maupun keinginan.
  2. Mandi dan atau wudlu.
  3. Diam dan tenang. Hal ini dilakukan agar di dalam berdzikir nanti dia dapat memperoleh shidq, artinya hatinya dapat terpusat pada bacaan Allah yang kemudian dibarengi dengan lisannya yang mengucapkan La ilaaha illallah.
  4. Menyaksikan dengan hatinya -ketika sedang melaksanakan dzikir ­terhadap himmah syaikh atau guru mursyidnya.
  5. Meyakini bahwa dzikir thariqah yang didapat dari syaikhnya adalah dzikir yang didapat dari Rasulullah SAW, karena syaikhnya adalah na’ib (pengganti/wakil) dari beliau.


Sedangkan 12 (dua belas) adab yang harus diperhatikan di saat melakukan dzikir adalah;
  1. Duduk di tempat yang suci seperti duduknya di dalam shalat.
  2. Meletakkan kedua telapak tangannya diatas kedua pahanya.
  3. Mengharumkan tempatnya untuk berdzikir dengan bau wewangian, demikian pula pakaian di badannya.
  4. Memakai pakaian yang halal dan suci.
  5. Memilih tempat yang gelap dan sepi jika memungkinkan.
  6. Memejamkan kedua mata, karena hal itu akan dapat menutup jalan indra dhohir, karena tertutupnya indra dhohir akan menjadi penyebab terbukanya indra hati/bathin.
  7. Membayangkan pribadi guru mursyidnya di antara kedua matanya. Dan ini menurut Para ulama thariqah merupakan adab yang sangat penting. (rabithah)
  8. Jujur dalam berdzikir. Artinya hendaknya seseorang yang berdzikir itu dapat memiliki perasaan yang sama, baik dalam keadaan sepi (sendiri) ataupun ramai (banyak orang). Bukannya kalau ramai banyak orang perasaannyaketika berdzikir lebih baik dan hebat, karena dilihat banyak orang ketimbang ketika sepi.
  9. Ikhlas, yaitu membersihkan amal dari segala ketercampuran. Dengan kejujuran serta keikhlasan, seorang yang berdzikir akan sampai pada derajat Ash-Shiddi’qiyah dengan syarat dia mau mengungkapkan segala yang terbersit didalam hatinya -berupa kebaikan dan keburukan­ kepada syaikhnya. Jika dia tidak mau mengungkapkan hal itu, berarti ia berkhianat dan akan terhalang dari fath (keterbukaan batiniyah).
  10. Memilih shighot dzikir bacaan Laa ilaaha illallah, karena bacaan ini memiliki keistimewaan yang tidak didapati pada bacaan-bacaan dzikir syar’i lainnya.
  11. Menghadirkan makna dzikir di dalam hatinya.
  12. Mengosongkan hati dari segala apapun selain Allah dengan La ilaaha illallah, agar pengaruh kata ”illallah” terhujam di dalam hati dan menjalar ke seluruh anggota tubuh.

Dan 3 (tiga) adab setelah berdzikir adalah;
  1. Bersikap tenang ketika telah diam (dari dzikirnya), khusyu’ dan menghadirkan hatinya untuk menunggu waridudz-dzikr. Para ulama thariqah berkata bahwa bisa jadi waridudz-dzikr datang dan sejenak memakmurkan hati itu pengaruhnya lebih besar daripada apa yang dihasilkan oleh riyadlah dan mujahadah tiga puluh tahun.
  2. Mengulang-ulang pernafasannya berkali-kali. Karena hal ini -menurut para ulama thariqah- lebih cepat menyinarkan bashi’rah, menyingkapkan hijab-hijab dan memutus bisikan-bisikan hawa nafsu dan syetan.
  3. Menahan minum air. Karena dzikir dapat menimbulkan hararah (rasa hangat) di hati orang yang melakukannya, yang disebabkan oleh syauq dan tahyij (rasa rindu dan gairah) kepada Al-Madzkur/Allah yang merupakan tujuan utama dari dzikir, sedang meminum air setelah berdzikir akan memadamkan rasa tersebut. Para Guru Mursyid berkata: “Orang yang berdzikir hendaknya memperhatikan tiga tatakrama ini, karena natijah (hasil) dzikirnya hanya akan muncul dengan itu.” Wallahu a’lam.


Keterangan:
  1. Himmah para syaikh/guru mursyid adalah keinginan para beliau agar semua muridnya bisa wushul kepada Allah SWT.
  2. Sikap duduk pada waktu melakukan dzikir ada perbedaan antara aliran thariqah satu dengan lain-nya, bahkan antara satu mursyid dengan lainnya dalam satu aliran thariqah. Ada yang menggunakan cara duduk seperti duduk didalam shalat (tawarruk dan iftirasy), ada yang dengan tawarruk dibalik artinya kaki kanan yang dimasukkan dibawah lutut kiri, ada yang dengan duduk murobba’ (bersila) dan ada yang dengan cara seperti saat dibai’at oleh mursyidnya. Oleh karena itu maka sikap duduk didalam berdzikir bisa dilakukan sesuai dengan petunjuk guru mursyidnya masing-masing.
  3. Membayangkan pribadi syaikhnya seakan berada di hadapannya pada saat melakukan dzikir, yang lazim disebut “rabithah” atau “tashawwur” bagi seorang murid thariqah. Hal tersebut lebih berfaidah clan lebih mengena daripada dzikirnya itu. Karena syaikh adalah washillah/ perantara untuk wushul ke hadirat Sang Maha Haq ‘azza wa jalla bagi si murid, dan setiap kali bertambah wajah kesesuaian bayangannya bersama syaikhnya maka bertambah pula anugerah-anugerah dalam bathiniyahnya, dan dalam waktu dekat akan sampailah dia pada apa yang dicarinya (Allah). Dan lazimnya bagi seorang murid untuk fana’/lebur lebih dahulu dalam pribadi syaikhnya, kemudian setelah itu dia akan sampai pada fana’/lebur pada Allah ta’ala. Wallahu a’lam.
  4. Yang dimaksud dengan waridudz-dzrkr adalah adalah segala sesuatu yang datang/muncul di dalam hati berupa makna-makna atau pengertian-pengertian setelah berdzikir yang bukan dikarenakan oleh usaha kerasnya si pelaku dzikir.


Muhimmah, Tanda-tanda murid yang beruntung ada tiga :

  1. Cinta kepada guru bil itsar, artinya mementingkan kehendak guru mengalahkan kepentingannya sendiri.
  2. Apa yang menjadi kehendak dan perintah guru yang baik diterimanya dengan  hati yang lapang dan niat laa hawla quwwata illa billahil ’aliyyil adzhim.
  3. Sesuai di dalam setiap perkara yang dikerjakannya dengan yang dimaksudkan oleh gurunya.

0 komentar:

 
Design by Wordpress Theme | Bloggerized by Free Blogger Templates | coupon codes