Mursyid Kamil Mukammil
Oleh: KH. Wahid Zuhdi
(pengasuh Ponpes al-Ma’ruf,
Bandungsari, Ngaringan, Grobogan, Jateng; juga sebagai wakil Syuriyah
NU wilayah Jateng dan sebagai anggota lajnah tashhih NU Pusat dan di
persatuan thariqat se-Indonesia)
Mursyid kamil mukammil adalah seorang mursyid yang sudah sempurna
dalam wushulnya kepada Allah dan dapat menyempurnakan muridnya untuk
juga wushul kepada Allah. Mursyid kamil mukammil pastilah seorang
waliyullah, tetapi sebaliknya, seorang waliyullah belum tentu seorang
mursyid. Karena seoarang mursyid mempunyai otoritas
mematrikan/menghunjamkan dzikir ke dalam qolbu seorang murid untuk
mensucikan qolbunya dan sebagai biji iman yang siap dicangkul, dipupuk,
dirawat, disirami sampai tumbuh dan berkembang yang akhirnya akan
berbuah manisnya iman.
Dengan biji iman yang ditanamkan ke dalam qolbu yang telah disucikan
oleh mursyid kamil mukammil dan diiringi dengan ketekunan,
keistiqomahan seorang murid dalam menjalankan petunjuk mursyid, insya
Allah akan terjadi perubahan secara simultan dalam diri seorang murid
menuju kemerdekaan yang hakiki yaitu bebas dari segala belenggu
penghambaan/perbudakan kepada dan terhadap apapun kecuali hanya kepada
ALLAH.
Mursyid akan senantiasa mendoakan, membimbing, mengingatkan,
mengarahkan, menata perjalan murid menuju Allah yang sungguh sangat
banyak tipu dayanya.
Wali Mursyid Itu Perlu
Seorang saudaraku bertanya:
APAKAH ADA PERADABAN YG LEBIH BAIK DARI ISLAM? TIDAK!!
Hmm..kadang aku berpikir, apa kunci Rasulullah hingga mampu membangun satu peradaban baru hanya dalam waktu 23 tahun...?
Barangkali kuncinya seperti tergambar dalam surat al-Jum'ah / 67:2. Beliau menjalankan tiga tugas utama:
1. Tilawah, membacakan ayat-ayat Allah.
Memperkenalkan kepada orang-orang tentang adanya petunjuk 'langit', dan
meyakinkan mereka tentang kebanaran ayat-ayat 'langit' itu.
2. Tazkiyah, mensucikan jiwa pengikutnya. Tanpa
kesucian jiwa maka makna ayat-ayat yang dibacakan tak akan terpahami
dengan baik, tak juga ayat-ayat itu terasakan sebagai penggerak yang
memotivasi orang untuk mengamalkannya.
3. Taklim, mengajarkan ketentuan-ketentuan Allah (hukum, kitab) juga tujuan dan manfaat dari ketentuan-ketentuan tersebut (hikmah).
Sekarang ini fungsi tilawah telah banyak tergantikan oleh berbagai
media. Kalau dulu hanya dibacakan oleh orang, sekarang ayat-ayat telah
dibukukan, dikasetkan, di-CD/ VCD-kan, didigitalkan. Orang dapat
mengaksesnya secara langsung. Untuk membacanya pun sudah banyak
tersedia kursus-kursus yang dapat melatihkannya dengan berbagai metode
yang sangat cepat.
Fungsi taklim masih berjalan terus, bahkan makin banyak ustadz yang
memimpin majlis-majlis taklim, baik langsung maupun menggunakan
fasilitas distance learning melalui radio/tv dan internet.
Yang jadi masalah adalah fungsi tazkiyah. Rasulullah s.a.w.
mentazkiyah jiwa para sahabat sebelum mentaklim mereka. Jiwa para
sahabat sudah tersucikan lebih dulu sebelum mendapatkan taklim. Tapi
siapa yang mentazkiyah diri kita saat ini? Untuk tilawah kita dapat
menggunakan berbagai multi media ayat yang banyak tersebar dengan harga
murah. Untuk taklim kita dapat mendatangi majlis taklim, halaqah,
liqa', dan mabit; menjumpai para ustadz dan murabbi. Tapi semua itu
kita lakukan dengan qalbu yang kotor karena tidak mengalami tazkiyah
lebih dulu.
Adakah para ustadz/kyai itu dapat mentazkiyah jiwa kita. Apakah para
murabbi kita juga sudah tersucikan jiwanya sehingga mampu mentazkiyah
kita? Kadang kita katakan, tak perlu tazkiyah secara formal, lakukan
saja ibadah-ibadah yang ada dengan ikhlas dan tekun, nanti jiwa akan
tertazkiyah sendiri. Betulkah? Bagaimana kita dapat ikhlas kalau belum
tazkiyah. Bagaimana akan termotivasi dan tekun beribadah kalau masih
banyak kototan jiwa? Jadi berputar-putar dong, untuk tazkiyah perlu
ibadah, tapi untuk ikhlas dan tekun ibadah diperlukan tazkiyah lebih
dulu...
Kita katakan tak perlu ada tazkiyah secara formal, juga tak perlu
ada orang yang mentazkiyah kita, karena kita memang belum mengetahui
pentingnya dua hal itu. Rasulullah s.a.w. mendapatkan tilawah,
tazkiyah, dan taklim dari malaikat Jibril. Para sahabat mendapatkannya
dari Rasul s.a.w. Para tabi'in dari para sahabat... begitu seterusnya.
Tapi lagi-lagi, siapa yang mentazkiyah kita saat ini? Kadang kita
terlalu arogan dengan mengatakan tak perlu tazkiyah dan orang yang
mentazkiyah, karena hubungan kita dengan Allh SWT bersifat langsung dan
individual, tak memerlukan perantara. Tapi betulkah kita, dengan segala
kekotoran kita dapat terhubung langsung dengan Allah? Bukankah
Rasulullah s.a.w. sebelum mikraj pun ditazkiyah dulu qalbunya oleh
Jibril?
Masukilah rumah lewat pintunya. Pelajarilah agama melalui sumbernya.
Seraplah cahaya ilahiah melalui salurannya. Mursyid itu perlu... Kita
gak kan pandai tanpa guru (bukankah dikatakan, siapa yang belajar tanpa
guru maka gurunya adalah setan...).
Jiwa tak kan terbersihkan tanpa ada yang men-tazkiyah-nya.
Tentu jangan sembarang orang kita jadikan mursyid. Bagaimana ia akan
men-tazkiyah diri kita kalau dia pun belum tersucikan jiwanya. Carilah
mursyid yang berkualifikasi wali. Bukan wali murid, atau wali nikah,
tapi wali Allah... Tapi bagaimana kita mengetahui seseorang itu wali
Allah, jangan-jangan kita malah terjebak oleh pengkultusan yang
menyesatkan?
Eksistensi Seorang Mursyid
Dalam setiap aktivitas rintangan itu akan selalu ada. Hal ini
dikarenakan Tuhan menciptakan syetan tidak lain hanya untuk menggoda
dan menghalangi setiap aktivitas manusia. Tidak hanya terhadap
aktivitas yang mengarah kepada kebaikan, bahkan terhadap aktivitas yang
sudah jelas mengarah menuju kejahatan pun, syetan masih juga ingin
lebih menyesatkan.
Pada dasarnya kita diciptakan oleh Tuhan hanya untuk beribadah dan
mencari ridla dari-Nya. Karena itu kita harus berusaha untuk berjalan
sesuai dengan kehendak atau syari’at yang telah ditentukan. Hanya saja
keberadaan syetan yang selalu memusuhi kita, membuat pengertian dan
pelaksanaan kita terkadang tidak sesuai dengan kebenaran.
Dengan demikian, kebutuhan kita untuk mencari seorang pembimbing
merupakan hal yang essensial. Karena dengan bimbingan orang tersebut,
kita harapkan akan bisa menetralisir setiap perbuatan yang mengarah
kepada kesesatan sehingga bisa mengantar kita pada tujuan.
Thariqah
Thariqah adalah jalan. Maksudnya, salah satu jalan menuju ridla
Allah atau salah satu jalan menuju wushul (sampai pada Tuhan). Dalam
istilah lain orang sering juga menyebutnya dengan ilmu haqiqat. Jadi,
thariqah merupakan sebuah aliran ajaran dalam pendekatan terhadap
Tuhan. Rutinitas yang ditekankan dalam ajaran ini adalah memperbanyak
dzikir terhadap Allah.
Dalam thariqat, kebanyakan orang yang terjun ke sana adalah
orang-orang yang bisa dibilang sudah mencapai usia tua. Itu dikarenakan
tuntutan atau pelajaran yang disampaikan adalah pengetahuan pokok atau
inti yang berkaitan langsung dengan Tuhan dan aktifitas hati yang
tidak banyak membutuhkan pengembangan analisa. Hal ini sesuai dengan
keadaan seorang yang sudah berusia tua yang biasanya kurang ada respon
dalam pengembangan analisa. Meskipun demikian, tidak berarti thariqah
hanya boleh dijalankan oleh orang-orang tua saja.
Lewat thariqah ini orang berharap bisa selalu mendapat ridla dari
Allah, atau bahkan bisa sampai derajat wushul. Meskipun sebenarnya
thariqah bukanlah jalan satu-satunya.
Wushul
Wushul adalah derajat tertinggi atau tujuan utama dalam
ber-thariqah. Untuk mencapai derajat wushul (sampai pada Tuhan), orang
bisa mencoba lewat bermacam-macam jalan. Jadi, orang bisa sampai ke
derajat tersebut tidak hanya lewat satu jalan. Hanya saja kebanyakan
orang menganggap thariqah adalah satu-satunya jalan atau bahkan jalan
pintas menuju wushul.
Seperti halnya thariqah, ibadah lain juga bisa mengantar sampai ke
derajat wushul. Ada dua ibadah yang syetan sangat sungguh-sungguh dalam
usaha menggagalkan atau menggoda, yaitu shalat dan dzikir. Hal ini
dikarenakan shalat dan dzikir merupakan dua ibadah yang besar
kemungkinannya bisa diharapkan akan membawa keselamatan atau bahkan
mencapai derajat wushul. Sehingga didalam shalat dan dzikir orang akan
merasakan kesulitan untuk dapat selalu mengingat Tuhan.
Dalam sebuah cerita, Imam Hanafi didatangi seorang yang sedang
kehilangan barang. Oleh Imam Hanafi orang tersebut disuruh shalat
sepanjang malam sehingga akan menemukan barangnya. Namun ketika baru
setengah malam menjalankan shalat, syetan mengingatkan/mengembalikan
barangnya yang hilang sambil membisikkan agar tidak melanjutkan
shalatnya. Namun oleh Imam Hanafi orang tersebut tetap disuruh untuk
melanjutkan shalatnya.
Seperti halnya shalat, dzikir adalah salah satu ibadah yang untuk
mencapai hasil maksimal harus melewati jalur yang penuh godaan syetan.
Dzikir dalam ilmu haqiqat atau thariqat, adalah mengingat atau
menghadirkan Tuhan dalam hati. Sementara Tuhan adalah dzat yang tidak
bisa diindera dan juga tiak ada yang menyerupai. Sehingga tidak boleh
bagi kita untuk membayangkan keberadaan Tuhan dengan disamakan sesuatu.
Maka dalam hal ini besar kemungkinan kita terpengaruh dan tergoda oleh
syetan, mengingat kita adalah orang yang awam dalam bidang ini (ilmu
haqiqat) dan masih jauh dari standar.
Karena itu, untuk selalu bisa berjalan sesuai ajaran agama, menjaga
kebenaran maupun terhindar dari kesalahan pengertian, kita harus
mempunyai seorang guru. Karena tanpa seorang guru, syetanlah yang akan
membimbing kita. Yang paling dikhawatirkan adalah kesalahan yang
berdampak pada aqidah.
Mursyid
Mursyid adalah seorang guru pembimbing dalam ilmu haqiqat atau ilmu
thariqat. Mengingat pembahasan dalam ilmu haqiqat atau ilmu thariqat
adalah tentang Tuhan yang merupakan dzat yang tidak bisa diindera, dan
rutinitas thariqah adalah dzikir yang sangat dibenci syetan. Maka untuk
menjaga kebenaran, kita perlu bimbingan seorang mursyid untuk
mengarahkannya. Sebab penerapan Asma’ Allah atau pelaksanaan dzikir yang
tidak sesuai bisa membahayakan secara ruhani maupun mental, baik
terhadap pribadi yang bersangkutan maupun terhadap masyarakat sekitar.
Bahkan bisa dikhawatirkan salah dalam beraqidah.
Seorang mursyid inilah yang akan membimbing kita untuk
mengarahkannya pada bentuk pelaksanaan yang benar. Hanya saja bentuk
ajaran dari masing-masing mursyid yang disampaikan pada kita
berbeda-beda, tergantung aliran thariqah-nya. Namun pada dasarnya
pelajaran dan tujuan yang diajarkannya adalah sama, yaitu al-wushul ila-Allah.
Melihat begitu pentingnya peranan mursyid, maka tidak diragukan lagi
tinggi derajat maupun kemampuan dan pengetahuan yang telah dicapai
oleh mursyid tersebut. Karena ketika seorang mursyid memberi jalan
keluar kepada muridnya dalam menghadapi kemungkinan godaan syetan,
berarti beliau telah lolos dari perangkap syetan. Dan ketika beliau
membina muridnya untuk mencapai derajat wushul, berarti beliau telah
mencapai derajat tersebut. Paling tidak, seorang mursyid adalah orang
yang tidak diragukan lagi kemampuan maupuan pengetahuannya.
Urgensi Mursyid Dalam Tarekat
Allah Swt. berfirman:
“Barangsiapa mendapatkan kesesatan, maka ia tidak akan menemukan (dalah hidupnya) seorang wali yang mursyid” (Al-Qur’an).
Dalam tradisi tasawuf, peran seorang Mursyid (pembimbing atau guru
ruhani) merupakan syarat mutlak untuk mencapai tahapan-tahapan puncak
spiritual. Eksistensi dan fungsi Mursyid atau wilayah kemursyidan ini
ditolak oleh sebagaian mereka yang memahami tasawuf dengan cara-cara
individual. Mereka merasa mampu menembus jalan ruhani yang penuh dengan
rahasia menurut metode dan cara mereka sendiri, bahkan dengan
mengandalkan pengetahuan yang selama ini mereka dapatkan dari ajaran
Al-Qur’an dan Sunnah. Namun karena pemahaman terhadap kedua sumber
ajaran tersebut terbatas, mereka mengklaim bahwa dunia tasawuf bisa
ditempuh tanpa bimbingan seorang Mursyid.
Pandangan demikian hanya layak secara teoritis belaka. Tetapi dalam
praktek sufisme, bisa dipastikan, bahwa mereka hanya meraih kegagalan
spiritual. Bukti-bukti historis akan kegagalan spoiritual tersebut
telah dibuktikan oleh para ulama sendiri yang mencoba menempuh jalan
sufi tanpa menggunakan bimbingan Mursyid. Para ulama besar sufi, yang
semula menolak tasawuf, seperti Ibnu Athaillah as-Sakandari, Sulthanul
Ulama Izzuddin Ibnu Abdis Salam, Syeikh Abdul Wahab asy-Sya’rani, dan
Hujjatul Islam Abu Hamid Al-Ghazali akhirnya harus menyerah pada
pengembaraannya sendiri, bahwa dalam proses menuju kepada Allah tetap
membutuhkan seorang Mursyid.
Masing-masing ulama besar tersebut memberikan kesaksian, bahwa
seorang dengan kehebatan ilmu agamanya, tidak akan mampu menempuh jalan
sufi, kecuali atas bimbingan seorang Syekh atau Mursyid. Sebab dunia
pengetahuan agama, seluas apa pun, hanyalah “dunia ilmu”, yang
hakikatnya lahir dari amaliah. Sementara, yang diserap dari ilmu adalah
produk dari amaliah ulama yang telah dibukakan jalan ma’rifat itu
sendiri.
Jalan ma’rifat itu tidak bisa begitu saja ditempuh begitu saja
dengan mengandalkan pengetahuan akal rasional, kecuali hanya akan
meraih Ilmul Yaqin belaka, belum sampai pada tahap Haqqul Yaqin.
Alhasil mereka yang merasa sudah sampai kepada Allah (wushul) tanpa
bimbingan seorang Mursyid, wushul-nya bisa dikategorikan sebagai wushul
yang penuh dengan tipudaya. Sebab, dalam alam metafisika sufisme,
mereka yang menempuh jalan sufi tanpa bimbingan ruhani seorang Mursyid,
tidak akan mampu membedakan mana hawathif-hawathif (bisikan-bisikan
lembut) yang datang dari Allah, dari malaikat atau dari syetan dan
bahkan dari jin. Di sinilah jebakan-jebakan dan tipudaya penempuh jalan
sufi muncul. Oleh sebab itu ada kalam sufi yang sangat terkenal:
“Barangsiapa menempuh jalan Allah tanpa disertai seorang guru, maka
gurunya adalah syetan”.
Oleh sebab itu, seorang ulama sendiri, tetap membutuhkan seorang
pembimbing ruhani, walaupun secara lahiriah pengetahuan yang dimiliki
oleh sang ulama tadi lebih tinggi dibanding sang Mursyid. Tetapi, tentu
saja, dalam soal-soal Ketuhanan, soal-soal bathiniyah, sang ulama
tentu tidak menguasainya.
Sebagaimana ayat al-Qur’an di atas, seorang Syekh atau Mursyid Sufi,
mesti memiliki prasyarat yang tidak ringan. Dari konteks ayat di atas
menunjukkan bahwa kebutuhan akan bimbingan ruhani bagi mereka yang
menempuh jalan sufi, seorang pembimbing ruhani mesti memiliki predikat
seorang yang wali, dan seorang yang Mursyid. Dengan kata lain, seorang
Mursyid yang bisa diandalkan adalah seorang Mursyid yang Kamil
Mukammil, yaitu seorang yang telah mencapai keparipurnaan ma’rifatullah
sebagai Insan yang Kamil, sekaligus bisa memberikan bimbingan jalan
keparipurnaan bagi para pengikut thariqatnya.
Tentu saja, untuk mencari model manusia paripurna setelah wafatnya
Rasulullah saw. terutama hari ini, sangatlah sulit. Sebab ukuran-ukuran
atau standarnya bukan lagi dengan menggunakan standar
rasional-intelektual, atau standar-standar empirisme, seperti
kemasyhuran, kehebatan-kehebatan atau pengetahuan-pengetahuan
ensiklopedis misalnya. Bukan demikian. Tetapi, adalah penguasaan
wilayah spiritual yang sangat luhur, dimana, logika-logikanya, hanya
bisa dicapai dengan mukasyafah kalbu atau akal hati.
Karenanya, pada zaman ini, tidak jarang Mursyid Tarekat yang
bermunculan, dengan mudah untuk menarik simpati massa, tetapi
hakikatnya tidak memiliki standar sebagai seorang Mursyid yang wali
sebagaimana di atas. Sehingga saat ini banyak Mursyid yang tidak
memiliki derajat kewalian, lalu menyebarkan ajaran tarekatnya. Dalam
banyak hal, akhirnya, proses tarekatnya banyak mengalami kendala yang
luar biasa, dan akhirnya banyak yang berhenti di tengah jalan
persimpangan.
Lalu siapakah Wali itu? Wali adalah kekasih Allah Swt. Mereka adalah
para kekasih Allah yang senanatiasa total dalam taat ubudiyahnya, dan
tidak berkubang dalam kemaksiatan. Dalam al-Qur’an disebutkan:
“Ingatlah, bahwa wali-wali Allah itu tidak pernah takut, juga tidak pernah susah.”
Sebagian tanda dari kewalian adalah tidak adanya rasa takut sedikit
pun yang terpancar dalam dirinya, tetapi juga tidak sedikit pun merasa
gelisah atau susah. Para Wali ini pun memiliki hirarki spiritual yang
cukup banyak, sesuai dengan tahap atau maqam dimana mereka ditempatkan
dalam Wilayah Ilahi di sana. Paduan antara kewalian dan kemursyidan
inilah yang menjadi prasyarat bagi munculnya seorang Mursyid yang Kamil
dan Mukammil di atas.
Dalam kitab Al-Mafaakhirul ‘Aliyah, karya Ahmad bin Muhammad bin
‘Ayyad, ditegaskan, -- dengan mengutip ungkapan Sulthanul Auliya’ Syekh
Abul Hasan asy-Syadzily ra, -- bahwa syarat-syarat seorang Syekh atau
Mursyid yang layak – minimal –ada lima:
1. Memiliki sentuhan rasa ruhani yang jelas dan tegas.
2. Memiliki pengetahuan yang benar.
3. Memiliki cita (himmah) yang luhur.
4. Memiliki perilaku ruhani yang diridhai.
5. Memiliki matahati yang tajam untuk menunjukkan jalan Ilahi.
Sebaliknya kemursyidan seseorang gugur manakala melakukan salah satu tindakan berikut:
1. Bodoh terhadap ajaran agama.
2. Mengabaikan kehormatan ummat Islam.
3. Melakukan hal-hal yang tidak berguna.
4. Mengikuti selera hawa nafsu dalam segala tindakan.
5. Berakhal buruk tanpa peduli dengan perilakunya.
Syekh Abu Madyan – ra- menyatakan, siapa pun yang mengaku dirinya
mencapai tahap ruhani dalam perilakunya di hadapan Allah Swt. lalu
muncul salah satu dari lima karakter di bawah ini, maka, orang ini
adalah seorang pendusta ruhani:
1. Membiarkan dirinya dalam kemaksiatan.
2. Mempermainkan taat kepada Allah.
3. Tamak terhadap sesama makhuk.
4. Kontra terhadap Ahlullah
5. Tidak menghormati sesama ummat Islam sebagaimana diperintahkan Allah Swt.
Syekh Abul Hasan Asy-Syadzili mengatakan, “Siapa yang menunjukkan
dirimu kepada dunia, maka ia akan menghancurkan dirimu. Siapa yang
menunjukkan dirimu pada amal, ia akan memayahkan dirimu. Dan
barangsiapa menunjukkan dirimu kepada Allah Swt. maka, ia pasti menjadi
penasehatmu.”
Ibnu Athaillah as-Sakandari dalam kitab Al-Hikam mengatakan,
“Janganlah berguru pada seseorang yang yang tidak membangkitkan dirimu
untuk menuju kepada Allah dan tidak pula menunjukkan wacananya
kepadamu, jalan menuju Allah”.
Seorang Mursyid yang hakiki, menurut Asy-Syadzili adalah seorang Mursyid yang tidak memberikan beban berat kepada para muridnya.
Dari kalimat ini menunjukkan bahwa banyak para guru sufi yang tidak
mengetahui kadar batin para muridnya, tidak pula mengetahui masa depan
kalbu para muridnya, tidak pula mengetahui rahasia Ilahi di balik
nurani para muridnya, sehingga guru ini, dengan mudahnya dan gegabahnya
memberikan amaliyah atau tugas-tugas yang sangat membebani fisik dan
jiwa muridnya. Jika seperti demikian, guru ini bukanlah guru yang hakiki
dalam dunia sufi.
Jika secara khusus, karakteristik para Mursyid sedemikian rupa itu,
maka secara umum, mereka pun berpijak pada lima (5) prinsip thariqat
itu sendiri:
1. Taqwa kepada Allah swt. lahir dan batin.
2. Mengikuti Sunnah Nabi Saw. baik dalam ucapan maupun tindakan.
3. Berpaling dari makhluk (berkonsentrasi kepada Allah) ketika mereka datang dan pergi.
4. Ridha kepada Allah, atas anugerah-Nya, baik sedikit maupun banyak.
5. Dan kembali kepada Allah dalam suka maupun duka.
Manifestasi Taqwa, melalaui sikap wara’ dan istiqamah.
Perwujudan atas Ittiba’ sunnah Nabi melalui pemeliharaan dan budi
pekerti yang baik. Sedangkan perwujudan berpaling dari makhluk melalui
kesabaran dan tawakal. Sementara perwujudan ridha kepada Allah, melalui
sikap qana’ah dan pasrah total. Dan perwujudan terhadap sikap kembali
kepada Allah adalah dengan pujian dan rasa syukur dalam keadaan suka,
dan mengembalikan kepada-Nya ketika mendapatkan bencana.
Secara keseluruhan, prinsip yang mendasari di atas adalah:
1) Himmah yang tinggi,
2) Menjaga kehormatan,
3) Bakti yang baik,
4) Melaksanakan prinsip utama; dan
5) Mengagungkan nikmat Allah Swt.
Dari sejumlah ilusttrasi di atas, maka bagi para penempuh jalan sufi
hendaknya memilih seorang Mursyid yang benar-benar memenuhi standar di
atas, sehingga mampu menghantar dirinya dalam penempuhan menuju kepada
Allah Swt.
Rasulullah saw. adalah teladan paling paripurna. Ketika hendak
menuju kepada Allah dalam Isra’ dan Mi’raj, Rasulullah Saw. senantiasa
dibimbing oleh Malaikat Jibril as. Fungsi Jibril di sini identik dengan
Mursyid di mata kaum sufi. Hal yang sama, ketika Nabiyullah Musa as,
yang merasa telah sampai kepada-Nya, ternyata harus diuji melalui
bimbingan ruhani seorang Nabi Khidir as. Hubungan Musa dan Khidir
adalah hubungan spiritual antara Murid dan Syekh. Maka dalam soal-soal
rasional Musa as sangat progresif, tetapi beliau tidak sehebat Khidir
dalam soal batiniyah.
Karena itu lebih penting lagi, tentu menyangkut soal etika hubungan
antara Murid dengan Mursyidnya, atau antara pelaku sufi dengan
Syekhnya. Syekh Abdul Wahhab asy-Sya’rani, (W. 973 H) secara khusus
menulis kitab yang berkaitan dengan etika hubungan antara Murid dengan
Mursyid tersebut, dalam “Lawaqihul Anwaar al-Qudsiyah fi Ma’rifati Qawa’idus Shufiyah”.
Asy-Syajarah al-Mubarokah (pohon ỳğ penuh
berkah). Apa itu? Tidak disebelah Timur dan tidak pula disebelah
barat itu adalah mengisyaratkan toleransi berilmu. Jangan memeriksa dαn
menyalahkan pengajaran orang lain, ini dilambangkan seperti " Minyak
Zaitun", yg minyaknya sedemikian jernih adalah menggambarkan ilmu
syariat (hukum) yg harus tertib, sedangkan "dun zaitun" melambangkan
kedamaian.. jadi orang yg sudah mendapatkan "Tuntunan" dr Guru Mursyid
hatinya menjadi tentram lahir batin (cageur-bageur) dan meninggalkan
kebiasaan buruk masa lalu dari hati yg lalai menjadi hati salim
"Laqinu mautakum" tuntunan orang yg mau mati, Siapa itu? KITA ini yg sehat yg pasti mati, bukan orang yg sedang syokratul maut., ITIQODKAN DALAM SIRR(RASA) ! Dan ingatlah sesungguhnya yg bisa beramal itu GURU, yg bs berdzikir itu GURU, yg bs semua dαn Tαhu itu GURU. Sehingga Kita bs beramal karena GURU, bisa Ilmu-amal-ma'rifat karena GURU dαη itu semua adalah adab kepada GURU, tanpa WASILAH GURU kita seperti MAYAT yg berjalan didunia ! Kita tidak mungkin bisa sampai (Wushul), karena hati kita penuh dg duri beracun,sebelum duri beracun itu dicabut dari tempatnya, oleh seorang Guru Mursyid yg telah mencapai derajat Insan kamil mukamal itu tidak akan mungkin bisa mengobati apalagi mencabut diri kita...Makanya jangan sok mengaku-ngaku kita bisa ibadah.
Dzikir adalah alat yg telah ditetapkan oleh seorang guru yg harus di istiqomahkan oleh seorang murid, sehingga setiap amalan itu akan membalik kepada Guru itulah Wasilah, Karena Ruh kita muhdhob (menumpang) dgn Ruh Guru (Kamil mukamal) maka dari itu Kembalikan semua ke GURU, ampunan kita ke Alloh belum tentu diterima,karena kita tidak tahu Sang Pemberi Ampunan maka kembalikan ke Guru. Mulailah cinta (mahabbah) kepada Guru dan terus berusaha sehingga kita menjadi seorang Pecinta (Muhibbin) serta berharap mendapatkan Kecintaan Guru (Mahbubbah) karena itulah kita bs cinta.
Karena itu Robithoh dzohir bathin adalah kewajiban pertama seorang murid kepada Guru. Lisannya mengucap "Bibarokati Syeikh" dhomirnya ke Guru Pangersa Abah, dari awal inilah lisan ( insya Alloh berbuah) menghujam keqolbu.Hakikat fi'linya (geraknya) adalah menjadi gerak Guru sehingga kita meperoleh sebuah Wasilah yg Agung dari Ruh Muqodhosah sampai ke Ilahi Robbi
Semua itu adalah hasil dari gerak dαη diam (dlm kebaikan/ ibadah) dari semua amal Guru,,, itulah Hakikat LAAILAHA ILLALLOH (tiada yg lain termasuk kita) MUHAMMADUR RASULULLOH [ Hanya Muhammad (Mursyid) ỳğ bisa ibadah ].
Sekarang pertanyaannya kita dimana ? Syuhud wal masyhud (Menyaksikan dαn dipersaksikan) Janganlah engkau menyangka bahwa kita bisa berdzikir, kita hanya menyaksikan dan dipersaksikan oleh Guru. Kalau ada ke kurangan dan salah akuilah bahwa itu adalah kita. Untuk mengetahui kekurangan dan salah jalan satu-satunya harus mujahadah dgn mahabbah ќεpada Pangersa Pangersa Agung, dengan alat dzikrulloh yg diistiqomahkan.
NIAT
Adapun niat itu tidak berhuruf, tiada berupa dan tiada bersuara. Ia merupakan kerja hati ( Ruhul Yaqazah ) dan niat itu meliputi kemesraan seluruh anggota badan jasmani dan ruhani.
Dan Niat itu sendiri mengandung empat perkara yg nantinya akan menjadi satu huruf. Dan niat itu akan pulang kepada hakikat. Dan hakikat itu pulang kepada ma'rifat.
Tiga perkara Niat yg menjadi kerja syaithon:
1. Hajis
Artinya Tergerak hati karena sesuatu faedah
2. Khatir
Artinya terlintas hati kepada tujuan yg berganda
3. Waham
Artinya was-was, lemah ilmu dan iman
Empat perkara yg menjadi niat wajib:
1. Huzur
Artinya roh tetap menunaikan janji ( Alam Roh )
2. 'Azam
Artinya Sadar dan tanggung jawab
3. Duhul
Artinya Sedia atau tiada halangan
4. Kasad
Artinya Hajat ( menunaikan amanah )
Didalam Niat itu ada empat perkara:
1. Takbir
Artinya meleburkan sifat hamba kedalam asma Alloh, Af'al Alloh, Sifat Alloh dan tenggelamkan Dzat hamba kepada Dzat Alloh. Maka tinggalah: Asma, sifat, af'al dan dzatulloh.
2. Munajat empat perkara niat menjadi satu dan niat itu pulang
3. Tabdal kepada hakikat dan hakikat pulang kepada ma'rifat. Menyerahkan diri dan menghapus sifat tercela kedalam sifat terpuji.
4. Mi'raj
Yaitu naik ketempat yg tinggi untuk mengembalikan amanah kepada yg tinggi untuk mengembalikan amanah kepada yg punya amanah.Ketika berlaku Tabdal menyerahkan jasad dan ruhani kita kepada Yg Haqulloh. Maka HANYA KERJA DIA yg ada bukan bukan kerja kita. Dan inilah yg dinamakan ALIF MUTTAKALLIMUN WAHID.
Subhanalloh, Inilah bukti cintanya Rosululloh ( Mursyid ) kepada Umatnya, yg sedikitpun tidak pernah meninggalkan umatnya.
Laa ilaaha illalloh tidak ada yg lain termasuk kita dan Muhammadur rosululloh dan yang ada hanya muhammad ( mursyid ) karena kecintaan kepada umatnya maka kita dimasukan kedalam Laa ilaaha illalloh Muhammad Rosululloh melalui Niat ( hanya kerja Dia ) yg dinamakan KHAS UL KHAS dan kalam itu menjadi ALIF MUTTAKALLIMUN WAHID.Pahami dan pahami kalau belum paham perbanyak dzikir minta petunjuk agar diberi pemahaman...semoga bermanfaat.
Bismilah...
Semoga kita semua diberi pemahaman tentang ALIF yg berjumlah 7. Yang tiada lain adalah hakikat Alloh dan Muhammad. Hakikat dari segala rahasia, hakikat dari pd lafal, hakikat dari pd Al-Qur'an, hakikat dr pd As-sirr, hakikat dari pd ruh, hakikat dari pd Cageur-Bageur.
Tetapi tidak mudah untuk mengurai tentang Bab ini, disebabkan, ilmu masih dangkal, nafsu memonopoli hati, akal masih bimbang (ragu), Ruh terikat dunia.
Laa ilaaha illallah tidak ada yg lain termasuk kita, Muhammad Rosululloh Hanya Muhammad ( Mursyid ) yg ada.
Dimana kita? Ada di Alif yg berjumlah 7 yaitu:
1. Alif Asli
2. Alif Nafsi
3. Alif Jariyah
4. Alif Tamsur
5. Alif Muttakallimun Wahid
6. Alif Muttakalimun ma'al ghoer
7. Alif Khuruful Wahid.
Hanya ini saja yg saya bisa jelaskan, untuk menjabarkannya perlu seorang yg Arif yaitu seorang Mursyid.
MENGENAL AMALIYAH GURU
Mengenal guru berarti kita harus mengenal amaliyahnya(ibadahnya) subhanallooh. Ingin dekat dgn guru maka kerjakan amaliyahnya sesuai kemampuan kita masing-masing. Mujahadatun nafsi dalam amaliyah dan Istiqomah rasa dalam robithoh
SEORANG MURID
"Laqinu mautakum" tuntunan orang yg mau mati, Siapa itu? KITA ini yg sehat yg pasti mati, bukan orang yg sedang syokratul maut., ITIQODKAN DALAM SIRR(RASA) ! Dan ingatlah sesungguhnya yg bisa beramal itu GURU, yg bs berdzikir itu GURU, yg bs semua dαn Tαhu itu GURU. Sehingga Kita bs beramal karena GURU, bisa Ilmu-amal-ma'rifat karena GURU dαη itu semua adalah adab kepada GURU, tanpa WASILAH GURU kita seperti MAYAT yg berjalan didunia ! Kita tidak mungkin bisa sampai (Wushul), karena hati kita penuh dg duri beracun,sebelum duri beracun itu dicabut dari tempatnya, oleh seorang Guru Mursyid yg telah mencapai derajat Insan kamil mukamal itu tidak akan mungkin bisa mengobati apalagi mencabut diri kita...Makanya jangan sok mengaku-ngaku kita bisa ibadah.
Dzikir adalah alat yg telah ditetapkan oleh seorang guru yg harus di istiqomahkan oleh seorang murid, sehingga setiap amalan itu akan membalik kepada Guru itulah Wasilah, Karena Ruh kita muhdhob (menumpang) dgn Ruh Guru (Kamil mukamal) maka dari itu Kembalikan semua ke GURU, ampunan kita ke Alloh belum tentu diterima,karena kita tidak tahu Sang Pemberi Ampunan maka kembalikan ke Guru. Mulailah cinta (mahabbah) kepada Guru dan terus berusaha sehingga kita menjadi seorang Pecinta (Muhibbin) serta berharap mendapatkan Kecintaan Guru (Mahbubbah) karena itulah kita bs cinta.
Karena itu Robithoh dzohir bathin adalah kewajiban pertama seorang murid kepada Guru. Lisannya mengucap "Bibarokati Syeikh" dhomirnya ke Guru Pangersa Abah, dari awal inilah lisan ( insya Alloh berbuah) menghujam keqolbu.Hakikat fi'linya (geraknya) adalah menjadi gerak Guru sehingga kita meperoleh sebuah Wasilah yg Agung dari Ruh Muqodhosah sampai ke Ilahi Robbi
Semua itu adalah hasil dari gerak dαη diam (dlm kebaikan/ ibadah) dari semua amal Guru,,, itulah Hakikat LAAILAHA ILLALLOH (tiada yg lain termasuk kita) MUHAMMADUR RASULULLOH [ Hanya Muhammad (Mursyid) ỳğ bisa ibadah ].
Sekarang pertanyaannya kita dimana ? Syuhud wal masyhud (Menyaksikan dαn dipersaksikan) Janganlah engkau menyangka bahwa kita bisa berdzikir, kita hanya menyaksikan dan dipersaksikan oleh Guru. Kalau ada ke kurangan dan salah akuilah bahwa itu adalah kita. Untuk mengetahui kekurangan dan salah jalan satu-satunya harus mujahadah dgn mahabbah ќεpada Pangersa Pangersa Agung, dengan alat dzikrulloh yg diistiqomahkan.
NIAT
Adapun niat itu tidak berhuruf, tiada berupa dan tiada bersuara. Ia merupakan kerja hati ( Ruhul Yaqazah ) dan niat itu meliputi kemesraan seluruh anggota badan jasmani dan ruhani.
Dan Niat itu sendiri mengandung empat perkara yg nantinya akan menjadi satu huruf. Dan niat itu akan pulang kepada hakikat. Dan hakikat itu pulang kepada ma'rifat.
Tiga perkara Niat yg menjadi kerja syaithon:
1. Hajis
Artinya Tergerak hati karena sesuatu faedah
2. Khatir
Artinya terlintas hati kepada tujuan yg berganda
3. Waham
Artinya was-was, lemah ilmu dan iman
Empat perkara yg menjadi niat wajib:
1. Huzur
Artinya roh tetap menunaikan janji ( Alam Roh )
2. 'Azam
Artinya Sadar dan tanggung jawab
3. Duhul
Artinya Sedia atau tiada halangan
4. Kasad
Artinya Hajat ( menunaikan amanah )
Didalam Niat itu ada empat perkara:
1. Takbir
Artinya meleburkan sifat hamba kedalam asma Alloh, Af'al Alloh, Sifat Alloh dan tenggelamkan Dzat hamba kepada Dzat Alloh. Maka tinggalah: Asma, sifat, af'al dan dzatulloh.
2. Munajat empat perkara niat menjadi satu dan niat itu pulang
3. Tabdal kepada hakikat dan hakikat pulang kepada ma'rifat. Menyerahkan diri dan menghapus sifat tercela kedalam sifat terpuji.
4. Mi'raj
Yaitu naik ketempat yg tinggi untuk mengembalikan amanah kepada yg tinggi untuk mengembalikan amanah kepada yg punya amanah.Ketika berlaku Tabdal menyerahkan jasad dan ruhani kita kepada Yg Haqulloh. Maka HANYA KERJA DIA yg ada bukan bukan kerja kita. Dan inilah yg dinamakan ALIF MUTTAKALLIMUN WAHID.
Subhanalloh, Inilah bukti cintanya Rosululloh ( Mursyid ) kepada Umatnya, yg sedikitpun tidak pernah meninggalkan umatnya.
Laa ilaaha illalloh tidak ada yg lain termasuk kita dan Muhammadur rosululloh dan yang ada hanya muhammad ( mursyid ) karena kecintaan kepada umatnya maka kita dimasukan kedalam Laa ilaaha illalloh Muhammad Rosululloh melalui Niat ( hanya kerja Dia ) yg dinamakan KHAS UL KHAS dan kalam itu menjadi ALIF MUTTAKALLIMUN WAHID.Pahami dan pahami kalau belum paham perbanyak dzikir minta petunjuk agar diberi pemahaman...semoga bermanfaat.
Bismilah...
Semoga kita semua diberi pemahaman tentang ALIF yg berjumlah 7. Yang tiada lain adalah hakikat Alloh dan Muhammad. Hakikat dari segala rahasia, hakikat dari pd lafal, hakikat dari pd Al-Qur'an, hakikat dr pd As-sirr, hakikat dari pd ruh, hakikat dari pd Cageur-Bageur.
Tetapi tidak mudah untuk mengurai tentang Bab ini, disebabkan, ilmu masih dangkal, nafsu memonopoli hati, akal masih bimbang (ragu), Ruh terikat dunia.
Laa ilaaha illallah tidak ada yg lain termasuk kita, Muhammad Rosululloh Hanya Muhammad ( Mursyid ) yg ada.
Dimana kita? Ada di Alif yg berjumlah 7 yaitu:
1. Alif Asli
2. Alif Nafsi
3. Alif Jariyah
4. Alif Tamsur
5. Alif Muttakallimun Wahid
6. Alif Muttakalimun ma'al ghoer
7. Alif Khuruful Wahid.
Hanya ini saja yg saya bisa jelaskan, untuk menjabarkannya perlu seorang yg Arif yaitu seorang Mursyid.
MENGENAL AMALIYAH GURU
Mengenal guru berarti kita harus mengenal amaliyahnya(ibadahnya) subhanallooh. Ingin dekat dgn guru maka kerjakan amaliyahnya sesuai kemampuan kita masing-masing. Mujahadatun nafsi dalam amaliyah dan Istiqomah rasa dalam robithoh
Musyahadah terhadap
asma' sifat 'af'al nya guru ,maka akan bisa muroqobah dgn guru dan bersama
guru menuju nur hadroh ilahiyah . Allohu Akbar, subhanalloh
walhamdulillah wa laa ilaaha illallooh mu hammadurrosulullooh
ma'rifat
dzat bisa dicapai melalui jalan ma'rifat asma, ma'rifat sifat, ma'rifat
af'al dan Ma'rifat dzat didunia hanya bisa dicapai oleh guru. Buat kita
ma'rifat dzat jatahnya kelak di akhirat.
Di dunia ini jatah kita ma'rifat asma, sifat, af'al. Itu juga dima'rifatkan oleh guru. Guru yg udah ma'rifat, kita ma'rifatnya keguru saja, nanti akan dima'rifatkan oleh guru kpd Alloh. Ingin ma'rifat kpd Alloh tapi sama guru belum ma'rifat maka akan jauh dari ma'rifat.
Kenalilah diri ini
Kenalilah guru-Mu
Maka kau akan kenal Alloh
Siapakah orangnya yang Ma'rifat tanpa thoriqoh, ??? (ini kehendak Alloh (hak prerogatipnya) terhadap hambanya)
Di dunia ini jatah kita ma'rifat asma, sifat, af'al. Itu juga dima'rifatkan oleh guru. Guru yg udah ma'rifat, kita ma'rifatnya keguru saja, nanti akan dima'rifatkan oleh guru kpd Alloh. Ingin ma'rifat kpd Alloh tapi sama guru belum ma'rifat maka akan jauh dari ma'rifat.
Kenalilah diri ini
Kenalilah guru-Mu
Maka kau akan kenal Alloh
Siapakah orangnya yang Ma'rifat tanpa thoriqoh, ??? (ini kehendak Alloh (hak prerogatipnya) terhadap hambanya)
2 komentar:
Sangat ingin sekali saya punya mursyid yang bisa membimbing wushul kepada Allah dan sangat ingin berthareqah.. Ya Allah tunjukilah tareqah dan mursyid pada hamba, adakah amalan supaya mendapat mursyid
ya Allah berikan keteguhan hatiku untuk mencari ridlhamu, aku ini orang bodoh maka tunjukanlah ya Allah pemahaman ilmu dariMu ya Allah banyak sekali ni'mat yang Engkau berikan tapi aku belum pandai bersyukur ya Allah. maka gerakanlah hatiku untuk selalu bersyukur atas semua ni'matMu..... SUBHANALLAH.....
Posting Komentar