"Assalamu`alaika yaa Ahlul laa ilaha illallooh MuhammadarRosululloh saw" birRUHI Syaikhuna Makshum MirRuhi Rosulillah Saw"
Bibarokati Sulthon Aulia Irsyad syaikh Ahmad Shohibil wafa Tajil Arifin Qs bikaromati Sulthon Aulia Ghoutsil Adhom Qutubil alaminasy Syaikh Muhyyidin Abdil Qodir Jailani Qs bisyafa`ati Rosulillah Saw, Al fatihah ...Aamiin
Manaqiban adalah perpaduan antara Bahasa Arab dengan Bahasa Indonesia. Asalnya dari Manaqib ditambah akhiran an. Manaqib adalah Jama Taksir dari Manqob (masdar mimi, isim makan dan isim zaman). Akar katanya dari Naqbun yang artinya jalan dilereng gunung.
Adapun maksud dari Manaqib adalah pembacaan riwayat hidup, baik ataupun jelek. Banyak orang yang tidak suka terhadap manaqib, tetapi selalu membaca riwayat para Wali. Padahal riwayat para Wali itu juga manaqib. Ibarat orang yang suka San Satyaonegu (nasi) tetapi mengharamkan Kejo (nasi). Atau ibarat “Monyet ngagugulung kalapa”(monyet mendekap-dekap kelapa).
"Manaqib adalah majmaul-khoir" atau tempat berkumpulnya segala kebaikan, diantaranya :
Silaturahmi, para ikhwan bisa bersilaturahmi dengan ikhwan lain yang berlainan daerah
Pembacaan ayat suci Al-Qur’an, yang merupakan ibadah baik kepada pembacanya ataupun pendengarnya.
Pembacaan Tanbih, dimana-mana ada manaqib selalu dibaca Tanbih, baik manaqib di PP Suryalaya, di Jakarta, Singapura, Malaysia dan lainnya.
Ini diibaratkan kita masuk restoran atau warteg, yang pertama ditanya, “Ada nasi?” Mengapa? Karena nasi itu kesukaan, sehingga walaupun sudah makan bubur atau 6 potong lontong, belum dikatakan makan sebelum makan nasi.
Apakah kita mengamalkan Tanbih? Jawabannya, “Kita belum mampu
mengamalkan isi Tanbih. Kita baru mampu setiap dibacakan Tanbih hanya
mencucurkan air mata”.
"Seseorang yang sudah mengamalkan Tanbih disebut Muntabih", yaitu orang yang selalu memakai peringatan-peringatan. Kita belum mampu mengamalkannya, dengan sungguh-sungguh, akan tetapi berusaha untuk itu.
"Seseorang yang sudah mengamalkan Tanbih disebut Muntabih", yaitu orang yang selalu memakai peringatan-peringatan. Kita belum mampu mengamalkannya, dengan sungguh-sungguh, akan tetapi berusaha untuk itu.
Karena seseorang
kalau sudah mampu mengamalkan Tanbih, Insya Alloh orang itu menjadi
Wali. Jadi selama belum menjadi Wali, terus menerus Tanbih tersebut
dibaca. Bahkan seseorang yang sudah sampai menjadi Wali-pun tidak
mungkin dirinya mengaku Wali. Maka jangan bosan untuk terus menerus
membaca Tanbih.
Ibarat ingin pergi dari Jakarta ke Surabaya naik kereta api, karena tidak mempunyai karcis, karena tidak mempunyai uang. Lalu masuklah ke gerbong yang berisi arang dan kambing secara gratis. Ketika sampai di Surabaya, para penumpang eksekutif disambut petugas dengan senyuman dan dipersilahkan memasuki ruangan istirahat serta disediakan makanan. Sebaliknya kita yang gratis naik dengan kambing, kepala benjol-benjol penuh arang malah begitu sampai diburu polisi karena tidak mempunyai karcis. Tetapi walaupun benjol dan hitam, masih beruntung sudah sampai di tempat tujuan yaitu Kota Surabaya.
Ibarat ingin pergi dari Jakarta ke Surabaya naik kereta api, karena tidak mempunyai karcis, karena tidak mempunyai uang. Lalu masuklah ke gerbong yang berisi arang dan kambing secara gratis. Ketika sampai di Surabaya, para penumpang eksekutif disambut petugas dengan senyuman dan dipersilahkan memasuki ruangan istirahat serta disediakan makanan. Sebaliknya kita yang gratis naik dengan kambing, kepala benjol-benjol penuh arang malah begitu sampai diburu polisi karena tidak mempunyai karcis. Tetapi walaupun benjol dan hitam, masih beruntung sudah sampai di tempat tujuan yaitu Kota Surabaya.
Seperti itulah perjalanan kita. Para solihin disambut bidadari, malah
kita dimarahi para malaikat. Karena bersama para solihin kita terbawa
masuk surga. Kita belajar dzikir kepada Pangersa itu agar sampai. Karena
kalau ingin sampai tanpa karcis, maka kita harus meminta Talqin.
Kita bergabung dengan mereka, sambil robithoh dan dzikir, sehingga nilai-nilai Tanbih bisa masuk ke dalam diri kita. Sehingga kita menjadi orang Muntabih.
Kita bergabung dengan mereka, sambil robithoh dan dzikir, sehingga nilai-nilai Tanbih bisa masuk ke dalam diri kita. Sehingga kita menjadi orang Muntabih.
Mengapa lebih mengagungkan Tanbih dari pada
Al-Qur’an? Karena nilai-nilai yang terkandung dalam Tanbih itu semuanya
dari Al-Qur’an. Sejak do’a, jangan ada perpecahan, menghormati orang
yang diatas kita dan menyayangi orang yang dibawah kita, dan lainnya
semuanya sama dengan nilai yang terkandung dalam Al-Qur’an.
Dilanjutkan kepada Tawassul. Tawassul ini bukan pekerjaan ringan dan
jangan dianggap remeh. Tawassul sangat erat kaitannya dengan robithoh.
Karena orang seperti kita tidak layak bergabung di lingkungan Alloh
bersama para Nabi, Rasul dan Auliya. Sholat kita masih sering
ketinggalan dan sering tidak khusyu, malah hatinya kesana kemari.
Kalau hanya ingin disebut muslim yang baik di mata manusia adalah mudah, asal jangan berbuat jahat saja dikatakan baik. Akan tetapi ukuran baik menurut Alloh bukan sekedar tidak berbuat jahat, tetapi yang dikatakan baik itu harus wushul (sampai) kepada Allah.
Kalau hanya ingin disebut muslim yang baik di mata manusia adalah mudah, asal jangan berbuat jahat saja dikatakan baik. Akan tetapi ukuran baik menurut Alloh bukan sekedar tidak berbuat jahat, tetapi yang dikatakan baik itu harus wushul (sampai) kepada Allah.
Di lingkungan
bukan Tarekat tidak dikenal kalimat wushul. Wushul atau sampai ini
terkait dengan kembali. Kembali kepada Alloh berarti mati.
Kita
dari Alloh dan harus kembali lagi kepada Alloh. Orang disebut mati kalau
mati, kenyataannya banyak orang mati tetapi tidak kembali kepada Alloh,
malah masuk ke Jahannam. Kapan kita harus kembali? Sejak sekarang juga
kita harus kembali.
Alloh itu dekat, bahkan lebih dekat dari urat leher. Dekat-jauhnya Alloh tidak diukur jarak, karena bukan benda. Rumusnya sesungguhnya Alloh itu dekat dengan kita, hanya saja kita yang jauh dari Alloh.
Alloh itu dekat, bahkan lebih dekat dari urat leher. Dekat-jauhnya Alloh tidak diukur jarak, karena bukan benda. Rumusnya sesungguhnya Alloh itu dekat dengan kita, hanya saja kita yang jauh dari Alloh.
Karena kalau Alloh itu jauh dari kita, sudah tentu
mata kita pun tidak mampu dikedipkan oleh kita. Cakupan Alloh itu
sangat luas, ini perlu diluruskan. Maksudnya bahwa Alloh itu tidak
berarti di atas, atau dibawah atau ditempat yang memerlukan uang.
Agar kita kembali kepada Alloh, maka kita harus melakukan perjalanan
ruhani menembus 4 lapis alam. Bagaimana caranya? Yaitu dengan cara
menembus diri sendiri. Manakala seseorang mampu menembus diri sendiri ke
luar dari jasmaniahnya dalam beribadah, maka orang itu berada di etafet
pertama. Terus berusaha menembus hatinya (alam malaikat), berarti dia
berada di etafet kedua. Terus berusaha menembus alam Jabarut, lalu ke
sirri yang berarti dia menembus Alam Lahut. Barulah kalau sudah menembus
Alam Lahut ini, dia sampai (wushul) kepada Alloh.
Insya Alloh,
kalau terus menerus berdzikir kepada Alloh dan mengamalkan Tanbih yang
dibimbing oleh seorang Guru Mursyid kami, dengan ilmu yang benar akan
wushul kepada Alloh. Amiin.
0 komentar:
Posting Komentar