.

.

Senin, 21 Mei 2012

BULAN RAJAB

INFO
PERINGATAN ISRO MI'ROJ  DAN MANAGIB 
(Wata`shimubihablillah)

DALAM RANGKA MEMPERINGATI ISRO MI'ROJ  NABI AGUNG MUHAMMAD SAW, TQN MARGADANA AKAN MENGADAKAN MANAGIB SYECH ABDUL QODIR JAELANI, QS. SEKALIGUS PENGAJIAN AKBAR YANG INSYA ALLOH AKAN DIHADIRI OLEH
:


" RADEN MAS KANJENG SYECH ROMO KH  IMAM ZAENAL ABIDIN REKSO AGUNG "


BELIAU ADALAH MANTU DARI SYECH ABDULLOH MUBAROK BIN NUR MUHAMMAD RA (ABAH SEPUH) PENDIRI PONTREN SURYALAYA DARI PUTRI BELIAU YANG BERNAMA UMI KHODIJAH. MARI KITA AMBIL MUTIARA HIKMAH DARI DEDENGKOT TASAWUF, RUGI JIKA KITA TIDAK HADIR. INSYA ALLOH AKAN DILAKSANAKAN PADA: 


HARI       :  MINGGU / SENEN:  16 / 17 JUNI 2012 (27 ROJAB 1433)
TEMPAT  :  TQN MARGADANA (MUSHOLAH MIFTAKHUL JANNAH) 
ALAMAT : JL.PROBOLINGGO GG. BAWAL RT 5 / RW 5 Telp (0283) 310418 MARGADANA KOTA TEGAL JAWA TENGAH - INDONESIA

DEMIKIANLAH PEMBERITAHUAN DAN SEKALIGUS UNDANGAN KHUSUSNYA BUAT IKHWAN DAN AKHWAT TQN SURYALAYA DAN PADA UMUMNYA BUAT UMAT ISLAM DIMANAPUN BERADA.





SESEPUH / PEMBINA/MUBALIGH TQN SURYALAYA KOTA TEGAL
ROMO KYAI TEGUH IMAN SONJAYA 

Sabda Nabi Muhammad SAW kepada syekh Salman :
” Barang siapa umat kami mendirikan sholat sunnah Rajab, diselamatkan Allah dari siksa neraka dan diwajibkan masuk surga ” (diriwayatkan Syekh Salman dari Kitab Ghuniyyatu Thalibin).
" Do’a orang yang berpuasa tidak ditolak " ( H.R. Tirmidzi ); - 




SHOLAT SUNAT RAJAB TAHUN 1433 H / 2012 M


Shalat Sunnat Rajab, merupakan salah satu amaliah tahunan yang selalu dilaksanakan di Pondok Pesantren Suryalaya ini. Shalat sunnat ini akan dilaksanakan pada malam tanggal 1, malam Jum'at pertama, malam tanggal 15 dan malam terakhir tanggal 30. Adapun cara pelaksanaannya, sebagai berikut:





1. Malam Tanggal 1 Rajab (bertepatan pada hari Senin malam Selasa tanggal 21 Mei 2012)
 

a. Melaksanakan shalat sunnat sebanyak 10 raka'at (5 kali salam)
b. Niatnya :

Usholli sunnatan syahri rojaba rok'ataini lillahita'ala.
c. Bacaaan tiap ba'da Fatihah : Surat al-Ikhlas 3x dan al-Kafirun 3x. d. Setelah salam akhir membaca do'a :

Laa ilaaha illallahu wahdahu laa syariikalah. Lahul mulku walahulhamdu yuhyi wayumiitu wahuwa hayyun. Laa yamuutu biyadihil khoiru wahuwa 'ala kulli syaiin qodiir. Allahumma laa maani'a limaa a'thoita wala mu'thi lima mana'ta wa laa yanfa'u dzal jaddi minkal jaddu.





2. Malam Jum'at Pertama Bulan Rajab (bertepatan pada hari Kamis malam Jum'at tanggal 24 Mei 2012)  
a. Melaksanakan shalat sunnat sebanyak 12 raka'at (6 kali salam)
b. Niatnya sama dengan di atas.
c. Bacaaan tiap ba'da Fatihah : Surat al-Qodar 3x dan al-Ikhlas 12x.
d. Setelah salam akhir membaca sholawat sebanyak 70 kali.

Allohumma sholli 'ala muhammadininnabiyyil ummiyi wa 'alaa alihi wasallim.
e. Kemudian sujud sambil membaca tasbih sebanyak 70 kali.

Subbuhun quddusun robbul malaaikati warruhi.
f. Kemudian duduk sambil membaca tasbih sebanyak 70 kali.

Robbigfirwarham watajawwaz 'amma ta'lamu fainnaka antal 'azizul a'dzhim.
g. Kemudian sujud lagi sambil membaca tasbih seperti pada sujud pertama.


3. Malam Tanggal 15 Rajab (bertepatan pada hari Senin malam Selasa tanggal 4 Juni 2012) 
Pelaksanaannya sama seperti pada malam tanggal 1.
Setelah salam akhir membaca do'a :

Laa ilaaha illalahu wahdahu la syariikalah Lahul mulku walahulhamdu yuhyi wayumiitu wahuwa hayyun. Laa yamuutu biyadihil khoiru wahuwa 'ala kulli syaiin qodiir. Ilaahan waa hidan ahaadan shomadan fardan witron lam yattakhidz shoohibatan wa laa waladan.

4. Malam Tanggal 30 Rajab (bertepatan pada hari Selasa malam Rabu tanggal 19 Juni 2012)  
Pelaksanaannya sama seperti pada malam tanggal 1.
Setelah salam akhir membaca do'a :

Laa ilaaha illalahu wahdahu la syariikalah Lahul mulku walahulhamdu yuhyi wayumiitu wahuwa hayyun. Laa yamuutu biyadihil khoiru wahuwa 'ala kulli syaiin qodiir. Wa shollallohu 'ala sayyidina muhammadin wa 'alaa alihitthohiriina wa lahaula wa la quwwata illa billahil 'aliyyil adzhim.

 
Bacaan Tasbih
 
1. Tanggal 1 - 10 :
Subhanallohil hayyul qoyyum 100x
 
2. Tanggal 11 - 20 :
Subhanallohil ahadis shomad 100x
 
3. Tanggal 21 - 30 :
Subhanallohirrouuf 100x

DO'A RAJAB


Alloohumma thohhir lisaanii minal kidzbi wa qolbii minan-nifaaqi wa'amalii minarriyaa-i wabashorii minal khiyaanati fa-innaka ta'lamu khoo-inatal a'yuni wamaa tukhfish shuduur.


Faedah Puasa Pada Bulan Rajab  
صوم أول يوم من رجب كفارة ثلاث سنين والثاني كفارة سنتين والثالث كفارة سنة ثم كل يوم شهرا

Puasa satu hari di awal rajab pahalanya menghapus dosa tiga tahun, puasa dua hari menghapus dosa dua tahun, dan puasa tiga hari menghapus dosa satu tahun. Pustaka : Faedul Qodir, Juz 4 hal 277
Niat Puasa Sunah Pada Bulan Rajab
Niat puasa sunnah di bulan Rajab adalah sebagai berikut:

نويت صوم شهر رجب سنة لله تعالى

Artinya: Sya niat puasa bulan Rajab, sunnah karena Allah ta'`la.




DASAR HUKUM SHALAT SUNNAH RAJAB & NISHFU SYA’BAN, DLL
Sebelum membahas dasar hukum shalat Rajab, penting bagi kita untuk mengetahui dahulu klasifikasi ilmu pengetahuan berdasarkan cara perolehannya. Dalam hal ini, Ilmu terbagi dua, 
1. Ilmu Hushuli : 
Yaitu ilmu yang dihasilkan oleh manusia, ilmu pengetahuan itu masuk ke dalam memori akal, itulah yang disebut ilmu lahir atau ilmu rasional. 
Kalau saya boleh ibaratkan ilmu hushuli bagaikan ketika kita ingin memiliki cadangan air, kita membuat kolam lalu kita angkut air sungai untuk dimasukkan ke dalam kolam. Warna maupun bau air kolam kita sangat tergantung warna danbau air sungai tempat kita mengambil air. Air sungai sangat dipengaruhi lingkungannya. Begitu pula ilmu Hushuli. Pengetahuan dan sikap seorang murid sangat diperngaruhi gurunya. 
Ada istilah “guru kencing berdiri, murid kencing berlari. Tetapi kalau guru kencing berlari?????? Ya,… murid ngencingin guru. He he he… serius amat. Ada juga kita kenal pribahasa “ anda tergantung buku apa yang ada di lemari anda. Ini semua adalah ilmu Hushuli. Semua ilmu yang kita ketahui adalah ilmu hushuli kecuali ilmu jenis kedua yaitu
 
2. Ilmu Laduni atau ilmu Hudhuri (yang dihadirkan oleh Allah).  
Secara bahsa ladun adalah “sisi” sedangkan huruf ya’ mutakallim wahdah (wah jadi nggak enak nih pake istilah Nahwu Sharaf) yang terletak setelah kata “ladun” artinya “Aku”. Maksudnya ilmu Laduni adalah ilmu yang langsung berasal dari sisi Ku (Allah). 
Kalau diibaratkan ilmu Laduni bagaikan kita mengebor tanah. Terus meneruuus sehingga ketika sudah mencapai air bersih, maka muncullah air bersih yang segar dan tidak terkontaminasi warna dan bau lainnya. 
Inilah ilmu laduni yang langsung dari Allah, ilmu murni, suci dan tidak terpengaruh oleh apapun. Cara memperolehnya juga bukan dengan kuliah samapai S4 atau membaca ribuan buku, namun dengan terus berdzikir secara mendalam dalam waktu yang relatif lama sehingga terbukalah hijab spiritual (kasyaf). 
Ilmu in ihanya dimiliki seorang Waliyullah. Kaum sufi telah memproklamirkan keistimewaan ilmu laduni. Ia merupakan ilmu yang paling agung dan puncak dari segala ilmu. 
Dengan mujahadah, pembersihan dan pensucian hati akan terpancar nur dari hatinya, sehingga tersibaklah seluruh rahasia-rahasia alam ghaib bahkan bisa berkomunikasi langsung dengan Allah, para Rasul dan ruh-ruh yang lainnya, termasuk nabi Khidhir. Tidaklah bisa diraih ilmu ini kecuali setelah mencapai tingkatan ma’rifat melalui latihan-latihan, amalan-amalan, ataupun dzikir-dzikir tertentu. 
 
Beberapa sufi berkomentar tentang ilmu laduni, antara lain: 
1. Al Ghazali dalam kitabnya Ihya’ Ulumuddin 1/11-12 berkata: 
“Ilmu kasyaf adalah tersingkapnya tirai penutup, sehingga kebenaran dalam setiap perkara dapat terlihat jelas seperti menyaksikan langsung dengan mata kepala … inilah ilmu-ilmu yang tidak tertulis dalam kitab-kitab dan tidak dibahas … “. 
Dia juga berkata: 
“Awal dari tarekat, dimulai dengan mukasyafah dan musyahadah, sampai dalam keadaan terjaga (sadar) bisa menyaksikan atau berhadapan langsung dengan malaikat-malaikat dan juga ruh-ruh para Nabi dan mendengar langsung suara-suara mereka bahkan mereka dapat langsung mengambil ilmu-ilmu dari mereka”. (Jamharatul Auliya’: 155)
 
2. Abu Yazid Al Busthami berkata:  
“Kalian mengambil ilmu dari orang-orang yang mati. Sedang kami mengambil ilmu dari Allah yang Maha Hidup dan tidak akan mati. Orang seperti kami berkata: “Hatiku telah menceritakan kepadaku dari Rabbku”. (Al Mizan: 1/28)
 
3. Ibnu Arabi berkata:  
“Ulama syariat mengambil ilmu mereka dari generasi terdahulu sampai hari kimat. Semakin hari ilmu mereka semakin jauh dari nasab. Para wali mengambil ilmu mereka langsung dari Allah yang dihujamkan ke dalam dada-dada mereka.” (Rasa’il Ibnu Arabi hal. 4). Dedengkot wihdatul wujud ini juga berkata: “Sesungguhnya seseorang tidak akan sempurna kedudukan ilmunya sampai ilmunya berasal dari Allah ‘Azza.

 
Beberapa alasan shalat Rajab, Nisfu Sya’ban dan yang sejenis, antara lain: 
1 Perbedaan penggunaan jenis ilmu. Ulama hadis yang bukan sufi, dengan segala hormat akan upaya mereka telah memverifikasi hadis, hanya menggunakan ilmu hushuli dalam menelaah validitas sebuah hadis. Tidak heran jika menurut para ahli hadis, hadis-hadis yang menjadi dasar hukum shalat Rajab maupun Nishfu Sya’ban adalah hadis dha’if maupun maudhu’. Namun para sufi selain menggunakan ilmu hushuli dalam mencari kebenaran, mereka juga menggunakan ilmu laduni. Sehingga ada beberapa hadis yang menurut para sufi dha’if sanadan shahih kasyfan (lemah secara sanad, namun shahih secara kasyaf).
 
Sudah menjadi kebiasaan para sufi untuk berkonsultasi dengan Allah dan RasulNya sebelum melakukan hal yang kecil sekalipun dan meski hanya menyangkut urusan pribadi. Apalagi ritual-ritual yang menyangkut orang banyak mereka tentunya bertanya kepada Allah. 
Hujjatul Islam Imam al-Ghazali dan Sulthan Awliyaa’ Syekh Abdul Qadir al-Jailani adalah dua di antara para sufi yang dalam buku susunannya (Ihya’ ‘ulumiddin dan al-Ghunyah lithalibii thariqil haq) mencantumkan ritual-ritual yang di tentang para ahli hadis secara sanad. Beliau berdua adalah sufi yang tidak diragukan lagi kesufiannya dan kedekatannya kepada Allah, dikagumi oleh para ulama dunia termasuk Ibnu Taymiah. 
Meski demikian mayoritas ahli hadis yang bukan sufi tetap saja tidak bisa menerima konsep shahih kasyfan. Apa yang diterapkan oleh kalangan ahli hadits dalam menetapkan sistem periwayatan hadits sebenarnya berdasarkan rasio dan sistem yang sangat hati-hati. Artinya dzauq dan pengalaman rohani tidak dilibatkan. 
Berbeda dengan para sufi ketika mereka mendapatkan hadits sistem yang diterapkan tidak hanya dengan sistem yang melibatkan rasio semata tetapi lebih melibatkan dzauq dan kasyaf/pengalaman batin. 
Seperti Ibnu ‘Arabi ketika meriwayatkan hadits “kuntu kanzan makhfiyan…..dst” menurut beliau hadits ini disampaikan Rasulullah saw yang menemuinya secara langsung tanpa tidur dan dalam keadaan sadar. Padahal kehidupan beliau tidak satu masa. Peringkat beliau pun bukan sahabat. 
Oleh karenanya Ibnu ‘Arabi dalam magnum opusnya al-Futuhat al-Makkiah mengatakan bahwa hadist ini sebagai “shahih kasyfan wa la shahih sanadan.
Artinya secara metodologi ahli hadits hadits ini tidak shoheh bahkan dianggap palsu. Sedangkan secara kasyaf (pengetahuan batin) peringkatnya shahih. Contoh diatas adalah sebuah penyebab adanya konfrontasi antara kalangan ahli hadits dan fuqaha dengan para sufi.
 
2. (alasan kedua) Mengukur diri sendiri. Banyak ahli hadis yang menilai para sufi sebagaimana mereka menilai kemampuan diri mereka. Ketika para ahli hadis tidak bisa berkomunikasi dengan Rasul, mereka katakan tidak mungkin seseorang bertemu Rasul setelah beliau wafat. 
Mereka menyatakan bahwa para sufi sebenarnya banyak melakukan kebohongan atas nama Nabi, karena mereka selalu menyebutkan hadits-hadits palsu. Mereka menanggapi pertemuan antara Syekh Ahmad at-Tijani yang mengaku bertemu dengan Nabi dan memberikan ijazah tarekat Tijaniyyah, atau Ibnu ‘Arabi yang bertemu dengan Rasulullah saw dan memberikan hadits qudsi “kuntu kanzan makhfiyan…..” sebagai pernyataan yang tidak mungkin terjadi. Syekh Ahmad at-Tijani dan Ibnu ‘Arabi hidup dimasa yang jauh setelah hidupnya Rasulullah s.a.w.
 
Para sufi menganggap Rasulullah tidak mati tetapi tetap hidup dan dapat berkomunikasi dengan orang-orang tertentu. Bukankah Allah berfirman:
“Dan janganlah kamu mengatakan terhadap orang-orang yang gugur di jalan Allah, (bahwa mereka itu) mati; bahkan (sebenarnya) mereka itu hidup, tetapi kamu tidak menyadarinya” (QS. 2:154) 
juga di ayat lain “Janganlah kamu mengira bahwa orang-orang yang gugur di jalan Allah itu mati; bahkan mereka itu hidup di sisi Tuhannya dengan mendapat rezki.” (QS. 3:169). 
Bukankah Rasulullah s.a.w. juga berkomunikasi dengan nabi Musa a.s. saat Mi’raj? Para ahli hadis di zaman dahulu menghabiskan umurnya untuk mengumpulkan dan mengecek kebenaran hadis meskipun harus bepergian ke tempat yang jauh. 
Para ahli hadis zaman sekarang mungkin lebih ringan karena mengecek hadis cukup dari buku ke buku. Wajar saja jika mereka memiliki data yang akurat seputar perawi hadis. Semoga Allah membalas jerih payah mereka dengan balasan yang berlipat ganda.
 
Sesungguhunya para sufi juga memliki jerih payah yang tidak kalah meletihkan dalam beribadah. Bayangkan Syekh Abdul Qadir selama 40 tahun tidak tidur malam, dan mencukupkan shalat Shubuh dengan wudhu shalat Isya. Beliau isi setiap malam dengan full beribadah kepada Allah untuk membersihkan qalbunya. Wajar saja kalau qalbunya begitu bersih sehingga dapat menyerap cahaya Ilahi lebih banyak dari yang lain. Dengan qalbunya yang bersih juga ia dapat berkomunikasi dengan para ruh yang suci.
 
Solusi Salah satu Solusinya… ahli hadits menerapkan sistem haditsnya betul dan tidak disalahkan. Mereka melibatkan rasio secara sistematik secara 100%. Sistem sepert ini dapat diaplikasikan pada ilmu-ilmu fiqh saja dan tidak bisa diterapkan pada ilmu tasawuf. 
Sementara sistem hadits yang diterapkan para sufi pun benar juga, karena untuk memahami dan mendalami ilmu tasawuf tidak hanya melibatkan rasio, justru rasio hanya dilibatkan 25% saja dan 75% menggunakan dzauq, iman dan mukasyafah. Sistem pengambilan hadits seperti ini hanya diaplikasikan pada ilmu-ilmu tasawuf, tetapi tidak bisa digunakan untuk fiqh.
 
3. (alasan ketiga) Hukum dasar puasa adalah baik dilakukan, Shalat Mutlaq dapat dilakukan kapan saja.
 
Ketika Al Hafidh Al Muhaddits Imam Nawawi menjawab masalah puasa di bulan rajab, beliau berkata : 
ولم يثبت في صوم رجب نهى ولا ندب لعينه ولكن أصل الصوم مندوب إليه
 
“Tiada hukum yg menguatkan puasa di bulan rajab, akan tetapi asal muasal hukum puasa adalah hal yg baik dilakukan” (Fathul baari Almasyhur Juz 8 hal.38), 
Jelaslah sudah bahwa Imam Nawawi berpendapat semua hal yg baik dan sunnah, jika dilakukan di waktu kapanpun, boleh saja dilakukan diwaktu yg dipilih. Juga sebagaimana diriwayatkan ketika ada Imam masjid Quba yg selalu membaca surat Al Ikhlas disetiap habis fatihah, ia selalu menyertakan surat Al Ikhlas lalu baru surat lainnya, lalu makmumnya protes, seraya meminta agar ia menghentikan kebiasaanya, namun Imam itu menolak, silahkan pilih imam lain kalau kalian mau, aku akan tetap seperti ini!, maka ketika diadukan pada Rasul saw, maka Rasul saw bertanya mengapa kau berkeras dan menolak permintaan teman temanmu (yg meminta ia tak membaca surat al ikhlas setiap rakaat), dan apa pula yg membuatmu berkeras mendawamkannya setiap rakaat?” ia menjawab : “Aku mencintai surat Al Ikhlas”, maka Rasul saw menjawab : “Cintamu pada surat Al Ikhlas akan membuatmu masuk sorga” (Shahih Bukhari hadits no.741). 
Kita tahu bahwa di dalam satu tahun ada 5 hari yang diharamkan berpuasa yaitu Iedul Fitri, Iedul Adha, lalu 3 hari setelah Iedul Adha. Mafhum mukhalafahnya (logika terbalik) adalah selain yang 5 hari itu maka dibolehkan berpuasa. Sedangkan shalat Rajab adalah jenis shalat MUTLAQ yang dapat dilakukan kapan saja. 
Jadi yang dimaksud dengan shalat Rajab adalah “shalat mutlaq yang dilakukan pada malam-malam bulan Rajab”. Maka tidak ada larangan melakukannya pada setiap waktu yang dibolehkan shalat. Jangan sampai kita mengharamkan sesuatu yang halal. Allah berfirman Hai Nabi, mengapa kamu mengharamkan apa yang Allah menghalalkannya bagimu (QS. At-Tahrim 66:1) 
Adapun surat-surat yang dibaca dalam shalat mutlaq tersebut silakan dibaca surat apa saja selama yang dibaca adalah al-Qur’an. Begitu pula yang dilakukan oleh imam masjid Quba. Bilal menciptakan shalat (mutlaq) syukrul wudhu 
عن أبي هريرة رضي الله عنه أن النبي صلى الله عليه وسلم قال لبلال عند صلاة الفجر” يا بلال حدثني بأرجي عمل عملته في الإسلام فإني سمعت دفَّ نعليك بين يدي في الجنة قال ما عملت عملا أرجى عندي أني لم أتطهر طهورا في ساعة ليل أو نهار إلا صليت بذلك الطهور ما كتب لي أن أصلي “. 
Dari Abu Hurairah r.a. bahwasanya Rasulullah SAW bersabda pada Bilal : “Hai Bilal, ceritakanlah kepadaku tentang amal yang kamu harapkan akan mendapatkan pahala, yang telah kamu kerjakan dalam Islam. Karena sesungguhnyalah aku mendengar suara terompahmu di hadapanku di sorga” Bilal menjawab: “saya tidak beramal dengan sesuatu amal apapun. Yang lebih saya harapkan pahalanya, kecuali saya mengerjakan shalat setelah aku bersuci (berwudlu) baik di waktu siang atau malam sesuai dengan yang telah ditentukan buatku untuk melakukan shalat. (HR. Bukhori dan Muslim )
 
4. Bulan Rajab adalah Bulan Haram 
Bulan-bulan haram itu adalah waktu sangat baik untuk melakukan amalan ketaatan, sampai-sampai para salaf sangat suka untuk melakukan puasa pada bulan-bulan tersebut. 
Sufyan Ats Tsauri mengatakan, “Pada bulan-bulan haram, aku sangat senang berpuasa di dalamnya.” (Latho-if Al Ma’arif, 214) 
Ibnu ‘Abbas mengatakan, “Allah mengkhususkan empat bulan tersebut sebagai bulan haram, dianggap sebagai bulan suci, melakukan maksiat pada bulan tersebut dosanya akan lebih besar, dan amalan sholeh yang dilakukan akan menuai pahala yang lebih banyak.” (Latho-if Al Ma’arif, 207) 
Di bawah ini saya cantumkan contoh hadis yang dibahas oleh para ahli hadis dan sufi 
عن أنس عن النبي -صلى الله عليه وسلم- أنه قال: “ما من أحد يصوم يوم الخميس (أول خميس من رجب) ثم يصلي فيما بين العشاء والعتمة يعني ليلة الجمعة اثنتي عشرة ركعة ، يقرأ في كل ركعة بفاتحة الكتاب مرة و((إنَّا أَنزَلْنَاهُ فِي لَيْلَةِ القَدْرِ)) ثلاث مرات، و((قُلْ هُوَ اللَّهُ أَحَدٌ)) اثنتي عشرة مرة ، يفصل بين كل ركعتين بتسليمة ، فإذا فرغ من صلاته صلى عليّ سبعين، فيقول في سجوده سبعين مرة: (سبوح قدوس رب الملائكة والروح) ، ثم يرفع رأسه ويقول سبعين مرة: رب اغفر وارحم وتجاوز عما تعلم ، إنك أنت العزيز الأعظم ، ثم يسجد الثانية فيقول مثل ما قال في السجدة الأولى ، ثم يسأل الله (تعالى) حاجته ، فإنها تقضى”.. قال رسول الله -صلى الله عليه وسلم-: “والذي نفسي بيده ، ما من عبد ولا أَمَة صلى هذه الصلاة إلا غفر الله له جميع ذنوبه ، ولو كانت مثل زبد البحر ، وعدد الرمل ، ووزن الجبال ، وورق الأشجار ، ويشفع يوم القيامة في سبعمئة من أهل بيته ممن قد استوجب النار. (إحياء علوم الدين ، للغزالي)
 
Dari Anas dari Nabi s.a.w. beliau bersabda, “Tiada seorangpun yang berpuasa pada hari Kamis (kamis pertama bulan Rajab) kemudian shalat antara Maghrib dan Isya yaitu malam Jum’at 12 rakaat, dibaca pada setiap rakaat al-Fatihah satu kali, dan al-Qadr 3 kali, al-Ikhlas 12 kali, dipisahkan antara setiap 2 rakaat dengan 1 salam. 
Kemudian setelah shalat selesai bershalawat kepadaku 70 kali, kemudian membaca pada sujudnya 70 kali سبوح قدوس رب الملائكة والروح, kemudian mengangkat kepalanya dan mengucapkan 70 kali رب اغفر وارحم وتجاوز عما تعلم ، إنك أنت العزيز الأعظم, Kemudian sujud yang kedua dan mengucapkan sebagaimana yang diucapkan pada sujud pertama. 
Kemudian memohon kepada Allah agar dikabulkan hajatnya, maka hajatnya akan dikabulkan.. Rasulullah s.a.w. melanjutkan, dan demi yang jiwaku berada di tanganNYa (Allah) tiada seorang hamba baik laki-laki maupun perempuan menjalankan shalat ini kecuali Allah mengampuni seluruh dosa-dosanya meskipun sebanyak buih di lautan, dan sebanyak pasir, dan sebesar gunung, dan sebanyak dedaunan di pepohonan, dan ia akan memberi syafaat kepada 700 keluarganya yang masuk neraka”. (Ihya’ Ulumiddin)
Wallahu a’lam
semoga bermanfaat
 
Dikutip dari catatan: Ust Abdul Latif, MA (Mesjid Al Mubarok, Rawamangun, Jakarta Timur).
 Dalil Puasa Pada Bulan Rajab
Alloh berfirman didalam QS At-Taubah ayat 36


إِنَّ عِدَّةَ الشُّهُورِ عِنْدَ اللَّهِ اثْنَا عَشَرَ شهْراً فِي كِتَابِ اللَّهِ يَوْمَ خَلَقَ السَّمَاوَاتِ وَالأَرْضَ مِنْهَا أَرْبَعَةٌ حُرُمٌ ذَلِكَ الدِّينُ الْقَيِّمُ فَلا تَظْلِمُوا فِيهِنَّ أَنْفُسَكُمْ

Artinya: Sesungguhnya bilangan bulan pada sisi Allah adalah dua belas bulan, dalam ketetapan Allah di waktu Dia menciptakan langit dan bumi, di antaranya empat bulan haram. Itulah (ketetapan) agama yang lurus, maka janganlah kamu menganiaya diri kamu dalam bulan yang empat itu.

Yang dimaksud empat bulan haram (mulia) adalah Rajab, Dzul Qo'dah, Dzul Hijjah, Muharram. Berdasarkan hadits riwayat Bukhari dan Muslim (muttafaq alaih) Nabi bersabda:

السَّنَةُ اثْنَا عَشَرَ شَهْرًا , مِنْهَا أَرْبَعَةٌ حُرُمٌ , ثَلاثٌ مُتَوَالِيَاتٌ : ذُو الْقَعْدَةِ وَذُو الْحِجَّةِ وَالْمُحَرَّمُ , وَرَجَبُ مُضَرَ الَّذِي بَيْنَ جُمَادَى وَشَعْبَانَ


Artinya: Tahun itu ada 12 bulan. Yang empat adalah bulan mulia (haram) yaitu Dzul Qo'dah, Dzul HIjjah, Muharram dan Rajab.


Hadits riwayat Abu Daud, Ahmad, Baihaqi, Ibnu Said


صم من الحُـرُم واترك، صم من الحرم واترك
Artinya: Berpuasalah pada bulan-bulan haram (mulia), dan tinggalkan. Dan Rajab termasuk dari bulan yang mulia yang empat.
Hadits riwayat Nasa'i dan Ahmad dari Usamah bin Zaid


أسامة بن زيد قال: قلت: يا رسول الله، لم أرك تصوم شهراً من الشهور ما تصوم من شعبان، قال: "ذلك شهر يغفل الناس عنه بين رجب ورمضان وهو شهر ترفع فيه الأعمال إلى رب العالمين، فأحب أن يرفع عملي وأنا صائم

Artinya: Usama bin Zaid berkata: Saya berkata pada Rasulullah, 'Wahai Rasulullah, aku tidak pernah melihatmu berpuasa satu bulan dari beberapa bulan Sya'ban.' Nabi bersabda: "Itu adalah bulan yang dilupakan manusia antara bulan Rajab dan Ramadan. Ia adalah bulan saat amal-amal perbuatan diangkat ke Allah. Maka aku suka amalku diangkat saat aku sedang puasa."
 
 
Pendapat Sunah-Nya Puasa Bulan Rajab 
Sebagian besar ulama (jumhur) menghukumi sunnah berpuasa pada bulan Rajab dengan 2 argumen.
  1.  Argument Pertama Adanya hadits yang menganjurkan untuk berpuasa sunnah.
  2.  Argument Kedua Adanya hadits yang menganjurkan untuk puasa pada bulan-bulan haram (mulia). Dan Rajab termasuk bulan haram.
Asy-Syaukani dalam Nailul Authar mengomentari hadits Usamah bin Zayd di atas menyatakan:

ظاهر قوله في حديث أسامة إن شعبان شهر يغفل عنه الناس بين رجب ورمضان أنه يستحب صوم رجب
Artinya: Pemahaman yang dzahir dari hadits Usamah (bin Zayd) di atas adalah bahwa bulan Sya'ban adalah bulan yang banyak dilupakan orang yang letaknya antara bulan Rajab dan Ramadan. Dan bahwa sunnah hukumnya berpuasa pada bulan Rajab.
Asy-Syaukani dalam Nailul Authar Ibnu Subki meriwayatkan dari Muhammad bin Manshur al-Sam'ani yang mengatakan bahwa tak ada hadis yang kuat yang menunjukkan kesunahan puasa Rajab secara khusus. Disebutkan juga bahwa Ibnu Umar memakruhkan puasa Rajab, sebagaimana Abu Bakar al-Tarthusi yang mengatakan bahwa puasa Rajab adalah makruh, karena tidak ada dalil yang kuat.
Namun demikian, sesuai pendapat al-Syaukani, bila semua hadis yang secara khusus menunjukkan keutamaan bulan Rajab dan disunahkan puasa di dalamnya kurang kuat dijadikan landasan, maka hadis-hadis Nabi yang menganjurkan atau memerintahkan berpuasa dalam bulan- bulan haram (Dzulqa’dah, Dzulhijjah, Muharram dan Rajab itu cukup menjadi hujjah atau landasan. Di samping itu, karena juga tidak ada dalil yang kuat yang memakruhkan puasa di bulan Rajab.

Diriwayatkan dari Mujibah al-Bahiliyah, Rasulullah bersabda "Puasalah pada bulan-bulan haram (mulia)." (Riwayat Abu Dawud, Ibnu Majah, dan Ahmad). Hadis lainnya adalah riwayat al-Nasa'i dan Abu Dawud (dan disahihkan oleh Ibnu Huzaimah): "Usamah berkata pada Nabi Muhammad Saw, “Wahai Rasulallah, saya tak melihat Rasul melakukan puasa (sunnah) sebanyak yang Rasul lakukan dalam bulan Sya'ban. Rasul menjawab: 'Bulan Sya'ban adalah bulan antara Rajab dan Ramadan yang dilupakan oleh kebanyakan orang.'"

Menurut al-Syaukani dalam Nailul Authar, dalam bahasan puasa sunnah, ungkapan Nabi, "Bulan Sya'ban adalah bulan antara Rajab dan Ramadan yang dilupakan kebanyakan orang" itu secara implisit menunjukkan bahwa bulan Rajab juga disunnahkan melakukan puasa di dalamnya.

Keutamaan berpuasa pada bulan haram juga diriwayatkan dalam hadis sahih imam Muslim. Bahkan berpuasa di dalam bulan-bulan mulia ini disebut Rasulullah sebagai puasa yang paling utama setelah puasa Ramadan. Nabi bersabda : “Seutama-utama puasa setelah Ramadan adalah puasa di bulan-bulan al-muharram". (Dzulqa'dah, Dzulhijjah, Muharram, dan Rajab).

Al-Ghazali dalam Ihya’ Ulum al-Din menyatakan bahwa kesunnahan berpuasa menjadi lebih kuat jika dilaksanakan pada hari-hari utama (al-ayyam al-fadhilah). Hari- hari utama ini dapat ditemukan pada tiap tahun, tiap bulan dan tiap minggu. Terkait siklus bulanan ini Al-Ghazali menyatakan bahwa Rajab terkategori al-asyhur al-fadhilah di samping dzulhijjah, muharram dan sya’ban. Rajab juga terkategori al-asyhur al-hurum di samping dzulqa’dah, dzul hijjah, dan muharram.

Disebutkan dalam Kifayah al-Akhyar, bahwa bulan yang paling utama untuk berpuasa setelah Ramadan adalah bulan- bulan haram yaitu dzulqa’dah, dzul hijjah, rajab dan muharram. Di antara keempat bulan itu yang paling utama untuk puasa adalah bulan al-muharram, kemudian Sya’ban. Namun menurut Syaikh Al-Rayani, bulan puasa yang utama setelah al-Muharram adalah Rajab.

Terkait hukum puasa dan ibadah pada Rajab, Imam Al-Nawawi menyatakan “Memang benar tidak satupun ditemukan hadits shahih mengenai puasa Rajab, namun telah jelas dan shahih riwayat bahwa Rasul saw menyukai puasa dan memperbanyak ibadah di bulan haram, dan Rajab adalah salah satu dari bulan haram, maka selama tak ada pelarangan khusus puasa dan ibadah di bulan Rajab, maka tak ada satu kekuatan untuk melarang puasa Rajab dan ibadah lainnya di bulan Rajab” (Syarh Nawawi ‘ala Shahih Muslim).
Ada lima malam ketika doa di malam-malam itu tidak ditolak: malam pertama bulan Rajab, malam Nishfu Sya'ban, malam Jum'at, malam `Idul Fithri, dan malam nahar (Idul Adha)." Demikian hadits yang disebutkan oleh As Suyuthi dalam Al-Jami' Ash Shaghir riwayat Ibnu 'Asakir dari Abu Umamah.
Maqolah habib Munzir al-Musawa mengatakan bahwa: mengenai hadits tentang mmenunjukkan kesunahan puasa Rajab secara khusus memang dhoif, namun masih diakui oleh sebagian ulama syafi'iyah, dan mengingkari keutamaan bulan rajab adalah hal yg munkar, karena Rajab adalah salah satu dari bulan haram yg dimuliakan Allah dan rasul Nya". kemudian amalan2 pada bulan Rajab itu teriwayatkan dalam hadits dhoif, namun para ulama kita mengamalkannya dan sepantasnya kita melestarikannya, karena teriwayatkan pula dalam banyak hadits bahwa Rasul saw beristighfar 100 X dalam satu majelis disaksikan/bersama para sahabat dengan ucapan itu namun shighah Jamak. (sunanul Kubra hadits no.10293) dan riwayat ini banyak. Dan pelarangan akan hal itu adalah perbuatan Munkar.

Ditegaskan oleh Imam Suyuthi dalam kitab al-Haawi lil Fataawi bahwa hadis-hadis tentang keutamaan dan kekhususan puasa Rajab tersebut terkategori dha'if (lemah atau kurang kuat). Namun dalam tradisi Ahlussunnah wal Jama’ah sebagaimana biasa diamalkan para ulama generasi salaf yang saleh telah bersepakat mengamalkan hadis dha’if dalam konteks fada’il al-a’mal (amal- amal utama).

Syaikhul Islam al-Imam al-Hafidz al- ‘Iraqi dalam al-Tabshirah wa al- tadzkirah mengatakan: “Adapun hadis dha’if yang tidak maudhu’ (palsu), maka para ulama telah memperbolehkan mempermudah dalam sanad dan periwayatannya tanpa menjelaskan kedha’ifannya, apabila hadis itu tidak berkaitan dengan hukum dan akidah, akan tetapi berkaitan dengan targhib (motivasi ibadah) dan tarhib (peringatan) seperti nasehat, kisah-kisah, fadha’il al-a’mal dan lain- lain.”
 
Diriwayatkan dari Sayyidatina 'Aisyah RA, bahwa Rasululloh SAW bersabda:
"Di hari qiyamat nanti semua manusia akan mengalami kelaparan dan kehausan. Kecuali para Nabi dan keluarganya, Orang yang berpuasa di Bulan Rajab, Syaban, dan Ramadhan. Maka mereka akan merasa kenyang, tdk akan lapar dan haus".
(Kitab Zubdatul-wa'idziyn, tentang Bulan Rajab)

Diriwayatkan dari Anas bin Malik RA, Rasululloh SAW bersabda:
"Barang siapa yang Sholat Sunat di Malam bulan Rajab sesudah Sholat Maghrib, disetiap roka'atnya membaca fatihatul-kitab dan qs. Al-Ikhlash, sebanyak 10x salam, berarti 20 roka'at. Maka Alloh SWT akan menjaganya dan keluarganya dari bala duniya dan siksa Akhirat".
(Kitab Dzurrotun-Nasichin hal.42, cetakan Bayrut)

Rasululloh SAW bersabda:
"Barang siapa menghidupkan 1 Malam di bulan Rajab (dengan beribadah kepada Alloh), maka hatinya tidak akan mati disaat hati-hati yang lain mati. Dan Allah SWT akan mencurahkan kebaikan kepadanya, dan ia akan diampuni dosanya seperti ia baru dilahirkan ibunya, dan bisa memberikan Syafa'at kepada 70 orang yang berdosa yg sudah di tetapkan masuk neraka".
(Kitab Dzurrotun-nasichin hal.42 Cetakan Bayrut)

Diriwayatkan dari Sa'id bin Rasyid: Rasululloh SAW bersabda:
“Barangsiapa berpuasa sehari di bulan Rajab, maka ia laksana berpuasa setahun, bila puasa 7 hari maka ditutuplah untuknya pintu-pintu neraka jahanam, bila puasa 8 hari dibukakan untuknya 8 pintu surga, bila puasa 10 hari, Allah akan mengabulkan semua permintaannya....."
(HR. At-Thobari)

Diriwayatkan dari Anas bin Malik RA, ia berkata: "Aku bertemu Mu'adz bin jabal RA dan berkata: "Dari mana engkau Ya Mu'adz?" Ia menjawab: "Aku baru saja dari Nabi SAW." Aku (Anas) berkata: Lalu apakah yg kau dengar?" Mu'adz menjawab: "Aku mendengar- "Barang siapa berkata La Ilaha IllaLLOH dengan benar2 Ikhlas, maka ia masuk surga. Dan barang siapa berpusa satu hari di bulan Rajab dengan mengharaf Ridlo Allah maka ia masuk surga". Kemudian aku (anas) masuk kerumah Rasululloh, lalu aku berkata: "Ya Rasulallah, sesungguhnya Mu'adz berkata seperti ini (sprti yg dikatakan Mu'adz tadi). Maka Rasululloh SAW berkata: "Benar apa yang disampaikan Mu'adz".
(Kitab Zuhrotur-Riyadl)

Abdulloh Ibnu Abbas RA berkata:
"Puasa di hari pertama bulan Rajab dapat menghapus dosa selama 3 Tahun. Di hari kedua menjadi penghapus dosa selama 2 Tahun. Dihari ketiga menjadi penghapus dosa 1 tahun. Kemudian disetiap hari sesudahnya menjadi penghapus dosa 1 bulan".
(HR. Abu Muhammad Al-Khalali - Kitab Jamiy'is-Shogiyr).

Dari Anas bin Malik RA, Rasululloh SAW bersabda:
"Sesungguhnya di dalam Surga terdapat Sungai yg bernama Rajab, lebih putih dari susu dan lebih manis dari madu. Siapa yang berpuasa satu hari dibulan Rajab maka Alloh SWT akan memberinya minum dari sungai itu".
(HR. Bayhaqi dalam Kitab Sya'bul-Iyman).
 



PENDAPAT MAKRUH ATAU HARAM-NYA PUASA BULAN RAJAB

- Ahmad bin Hanbal (Madzhab Hanbali) berkata: وأما رجب فأحب إليّ أن أفطر منه
Artinya: Saya lebih senang tidak puasa pada bulan Rajab.

- Al-Mardawi dalam Al-Inshaf menyatakan:وَيُكْرَهُ إفْرَادُ رَجَبٍ بِالصَّوْمِ
Artinya: Mengkhususkan puasa Rajab (sebulan penuh) hukumnya makruh.

- Imam Suyuthi dalam Amr bil Ittiba' menyatakan: وَيُكْرَهُ إفْرَادُ رَجَبٍ بِالصَّوْمِ
Artinya: Makruh mengkhususkan pada bulan Rajab.

- Imam Syafi'i dalam qaul qadim memakruhkan puasa Rajab sebulan penuh
وأكره أن يتخذ الرجل صوم شهر بكماله كما يكمل رمضان، وكذلك يوماً من بين الأيام




PENDAPAT ULAMA WAHABI TENTANG PUASA BULAN RAJAB

Berikut pendapat sejumlah ulama Wahabi utama tentang puasa dan ibadah di bulan Rajab

1. Abdul Aziz bin Abdullah bin Baz berpendapat makruh puasa pada bulan Rajab


يكره إفراده بالصوم تطوعاً لأنه من شأن الجاهلية كانوا يعظمونه بالصوم، فكره أهل العلم إفراده بالصوم تطوعاً أما إذا صامه الإنسان عن صوم عليه من قضاء رمضان أو من كفارة فلا حرج في ذلك، أو صام منه ما شرع الله من أيام الاثنين والخميس أو ثلاثة أيام البيض كل هذا لا حرج فيه، والحمد لله، كغيره من الشهور.

Arti ringkasan: Makruh menyendirikan puasa sunnah Rajab karena itu termasuk perilaku jahiliah.

2. Ibnu Uthaimin, mengharamkan puasa Rajab karena dianggap bid'ah. Dalam Majmuk Al-Fatawa Ibnu Utsaimin 20/440 dia mengatakan:
صيام اليوم السابع العشرين من رجب وقيام ليلته وتخصيص ذلك بدعة , وكل بدعة ضلالة .
Artinya: Puasa pada hari ke 27 bulan Rajab dan bangun malam dan mengkhususkan hal itu adalah bid'ah. Dan setiap bid'ah itu sesat.

Pada kesempatan lain Ibnu Uthaimin mengatakan:


أود أن أقول: هناك من يَخُصُّ رجب بالصيام، فيصوم رجب كلَّه
وهذا بدعة وليس بسنة

Artinya: Mengkhususkan puasa bulan Rajab selama sebulan termasuk bid'ah. Bukan Sunnah.

3. Shalih bin Fauzan bin Abdullah Al-Fauzan menyatakan puasa awal Rajab sebagai bid'ah (= haram)


‏ صوم أول يوم من رجب بدعة ليس من الشريعة ولم يثبت عن النبي صلى الله عليه وسلم في خصوص رجب صيام، فصيام أول يوم من رجب واعتقاد أنه سنة هذا خطأ وبدعة‏

Artinya: Puasa awal Rajab adalah bid'ah dan tidak sesuai syariah. Tidak ada ketetapan dari nabi adanya kekhususan puasa bulan Rajab. Berpuasa awal bulan Rajab dan meyakini kesunnahannya adalah salah dan bid'ah.
 




KESIMPULAN

- Berpuasa bulan Rajab hukumnya sunnah berdasarkan hadits yang menganjurkan sunnahnya berpuasa secara umum dan sunnahnya puasa pada bulan-bulan haram. Dan Rajab termasuk bulan haram secara ijmak (kesepakatan ulama).

- Berpuasa pada sebagian bulan Rajab tidak sebulan penuh hukumnya sunnah menurut kesepakan madzhab yang empat (Hanafi, Maliki, Syafi'i dan Hanbali).

- Tetapi mengkhususkan berpuasa sebulan penuh pada bulan Rajab--sementara bulan haram lain tidak--adalah makruh menurut sebagian ulama. Dan tetap sunnah menurut sebagian ulama yang lain.

- Menurut ulama Wahabi, puasa bulan Rajab termasuk bid'ah yang sesat dan haram.



Jumat, 18 Mei 2012

MANAQIB

"Assalamu`alaika yaa Ahlul laa ilaha illallooh MuhammadarRosululloh saw" birRUHI Syaikhuna Makshum MirRuhi Rosulillah Saw" 

Bibarokati Sulthon Aulia Irsyad syaikh Ahmad Shohibil wafa Tajil Arifin Qs bikaromati Sulthon Aulia Ghoutsil Adhom Qutubil alaminasy Syaikh Muhyyidin Abdil Qodir Jailani Qs bisyafa`ati Rosulillah Saw, Al fatihah ...Aamiin

Manaqiban adalah perpaduan antara Bahasa Arab dengan Bahasa Indonesia. Asalnya dari Manaqib ditambah akhiran an. Manaqib adalah Jama Taksir dari Manqob (masdar mimi, isim makan dan isim zaman). Akar katanya dari Naqbun yang artinya jalan dilereng gunung.

Adapun maksud dari Manaqib adalah pembacaan riwayat hidup, baik ataupun jelek. Banyak orang yang tidak suka terhadap manaqib, tetapi selalu membaca riwayat para Wali. Padahal riwayat para Wali itu juga manaqib. Ibarat orang yang suka San Satyaonegu (nasi) tetapi mengharamkan Kejo (nasi). Atau ibarat “Monyet ngagugulung kalapa”(monyet mendekap-dekap kelapa).

"Manaqib adalah majmaul-khoir" atau tempat berkumpulnya segala kebaikan, diantaranya :
Silaturahmi, para ikhwan bisa bersilaturahmi dengan ikhwan lain yang berlainan daerah
Pembacaan ayat suci Al-Qur’an, yang merupakan ibadah baik kepada pembacanya ataupun pendengarnya.
Pembacaan Tanbih, dimana-mana ada manaqib selalu dibaca Tanbih, baik manaqib di PP Suryalaya, di Jakarta, Singapura, Malaysia dan lainnya.

Ini diibaratkan kita masuk restoran atau warteg, yang pertama ditanya, “Ada nasi?” Mengapa? Karena nasi itu kesukaan, sehingga walaupun sudah makan bubur atau 6 potong lontong, belum dikatakan makan sebelum makan nasi.
 
Apakah kita mengamalkan Tanbih? Jawabannya, “Kita belum mampu mengamalkan isi Tanbih. Kita baru mampu setiap dibacakan Tanbih hanya mencucurkan air mata”.
"Seseorang yang sudah mengamalkan Tanbih disebut Muntabih", yaitu orang yang selalu memakai peringatan-peringatan. Kita belum mampu mengamalkannya, dengan sungguh-sungguh, akan tetapi berusaha untuk itu.
 
Karena seseorang kalau sudah mampu mengamalkan Tanbih, Insya Alloh orang itu menjadi Wali. Jadi selama belum menjadi Wali, terus menerus Tanbih tersebut dibaca. Bahkan seseorang yang sudah sampai menjadi Wali-pun tidak mungkin dirinya mengaku Wali. Maka jangan bosan untuk terus menerus membaca Tanbih.

Ibarat ingin pergi dari Jakarta ke Surabaya naik kereta api, karena tidak mempunyai karcis, karena tidak mempunyai uang. Lalu masuklah ke gerbong yang berisi arang dan kambing secara gratis. Ketika sampai di Surabaya, para penumpang eksekutif disambut petugas dengan senyuman dan dipersilahkan memasuki ruangan istirahat serta disediakan makanan. Sebaliknya kita yang gratis naik dengan kambing, kepala benjol-benjol penuh arang malah begitu sampai diburu polisi karena tidak mempunyai karcis. Tetapi walaupun benjol dan hitam, masih beruntung sudah sampai di tempat tujuan yaitu Kota Surabaya.
 
Seperti itulah perjalanan kita. Para solihin disambut bidadari, malah kita dimarahi para malaikat. Karena bersama para solihin kita terbawa masuk surga. Kita belajar dzikir kepada Pangersa itu agar sampai. Karena kalau ingin sampai tanpa karcis, maka kita harus meminta Talqin.

Kita bergabung dengan mereka, sambil robithoh dan dzikir, sehingga nilai-nilai Tanbih bisa masuk ke dalam diri kita. Sehingga kita menjadi orang Muntabih.
 
Mengapa lebih mengagungkan Tanbih dari pada Al-Qur’an? Karena nilai-nilai yang terkandung dalam Tanbih itu semuanya dari Al-Qur’an. Sejak do’a, jangan ada perpecahan, menghormati orang yang diatas kita dan menyayangi orang yang dibawah kita, dan lainnya semuanya sama dengan nilai yang terkandung dalam Al-Qur’an.
 
Dilanjutkan kepada Tawassul. Tawassul ini bukan pekerjaan ringan dan jangan dianggap remeh. Tawassul sangat erat kaitannya dengan robithoh.
 
Karena orang seperti kita tidak layak bergabung di lingkungan Alloh bersama para Nabi, Rasul dan Auliya. Sholat kita masih sering ketinggalan dan sering tidak khusyu, malah hatinya kesana kemari.

Kalau hanya ingin disebut muslim yang baik di mata manusia adalah mudah, asal jangan berbuat jahat saja dikatakan baik. Akan tetapi ukuran baik menurut Alloh bukan sekedar tidak berbuat jahat, tetapi yang dikatakan baik itu harus wushul (sampai) kepada Allah.
 
Di lingkungan bukan Tarekat tidak dikenal kalimat wushul. Wushul atau sampai ini terkait dengan kembali. Kembali kepada Alloh berarti mati.
 
Kita dari Alloh dan harus kembali lagi kepada Alloh. Orang disebut mati kalau mati, kenyataannya banyak orang mati tetapi tidak kembali kepada Alloh, malah masuk ke Jahannam. Kapan kita harus kembali? Sejak sekarang juga kita harus kembali.

Alloh itu dekat, bahkan lebih dekat dari urat leher. Dekat-jauhnya Alloh tidak diukur jarak, karena bukan benda. Rumusnya sesungguhnya Alloh itu dekat dengan kita, hanya saja kita yang jauh dari Alloh.
 
Karena kalau Alloh itu jauh dari kita, sudah tentu mata kita pun tidak mampu dikedipkan oleh kita. Cakupan Alloh itu sangat luas, ini perlu diluruskan. Maksudnya bahwa Alloh itu tidak berarti di atas, atau dibawah atau ditempat yang memerlukan uang.
 
Agar kita kembali kepada Alloh, maka kita harus melakukan perjalanan ruhani menembus 4 lapis alam. Bagaimana caranya? Yaitu dengan cara menembus diri sendiri. Manakala seseorang mampu menembus diri sendiri ke luar dari jasmaniahnya dalam beribadah, maka orang itu berada di etafet pertama. Terus berusaha menembus hatinya (alam malaikat), berarti dia berada di etafet kedua. Terus berusaha menembus alam Jabarut, lalu ke sirri yang berarti dia menembus Alam Lahut. Barulah kalau sudah menembus Alam Lahut ini, dia sampai (wushul) kepada Alloh.
 
Insya Alloh, kalau terus menerus berdzikir kepada Alloh dan mengamalkan Tanbih yang dibimbing oleh seorang Guru Mursyid kami, dengan ilmu yang benar akan wushul kepada Alloh. Amiin.

PEDOMAN BERTHORIQOH

Di dalam thariqah ada yang disebut Talqinudz Dzikr, yakni pendiktean kalimat dzikir La ilaaha illallah dengan lisan (diucapkan) dan atau pendiktean Ismudz-Dzat lafadh Allah secara bathiniyah dari seorang Guru Mursyid kepada muridnya. 

Dalam pelaksanaan dzikir thariqah, seseorang harus mempunyai sanad (ikatan) yang muttasil (bersambung) dari guru mursyidnya yang terus bersambung sampai kepada Rasulullah SAW. Penisbatan (pengakuan adanya hubungan) seorang murid dengan guru mursyidnya hanya bisa terjadi melalui talqin dan ta’lim(belajar) dari seorang guru yang telah memperoleh izin untuk memberikan ijazah yang sah yang bersandar sampai kepada Guru Mursyid Shohibut Thariqoh, yang terus bersambung sampai kepada Rasulullah SAW. 

Karena dzikir tidak akan memberikan FAEDAH YANG SEMPURNA kecuali melalui talqin dan izin dari seorang guru mursyid. Bahkan mayoritas ulama thariqoh menjadikan talqin dzikir ini sebagai salah satu syarat dalam berthariqoh. Karena sirr(rahasia) dalam thariqoh sesungguhnya adalah keterikatan antara satu hati dengan hati yang lainnya sampai kepada Rasulullah SAW, yang bersambung sampai ke hadirat Yang Maha Haqq, Allah Azza wa jalla.

Dan seseorang yang telah memperoleh talqin dzikir yang juga lazim disebut dengan bai’at dari seorang guru mursyid, berarti dia telah masuk silsilahnya para kekasih Allah yang agung. Jadi jika seseorang berbai’at Thariqoh berarti dia telah berusaha untuk turut menjalankan perkara yang telah dijalankan oleh mereka.

Perumpamaan orang yang berdzikir yang telah ditalqin/dibai’at oleh guru mursyid itu seperti lingkaran rantai yang saling bergandengan hingga induknya, yaitu Rasulullah SAW. Jadi kalau induknya ditarik maka semua lingkaran yang terangkai akan ikut tertarik kemanapun arah tarikannya itu. Dan silsilah para wali sampai kepada Rasulullah SAW itu bagaikan sebuah rangkaian lingkaran-lingkaran anak rantai yang saling berhubungan.
Berbeda dengan orang yang berdzikir yang belum bertalqin/berbai’at kepada seorang guru mursyid, ibarat anak rantai yang terlepas dari rangkaiannya. Seumpama induk rantai itu ditarik, maka ia tidak akan ikut tertarik. 

Maka kita semua perlu bersyukur karena telah diberi ghirah (semangat) dan kemauan untuk berbai’at kepada seorang guru mursyid. Tinggal kewajiban kita untuk beristiqomah menjalaninya serta senantiasa menjaga dan menjalankan syari’at dengan sungguh-sungguh. Dan hendaknya juga dapat istiqomah didalam murabithah (merekatkan hubungan) dengan guru mursyid kita masing-masing.


Syarat Thariqah

  1. Sanad-nya silsilahnya muktabaroh, artinya tidak putus shahih sampai kepada Baginda Nabi SAW.Ath-Thoriqotil-Baidlo’ yakni Thoriqoh yang bersih yang muttasil sanadnya sampai Rosulillah SAW
  2. Bay’at, melalui guru mursyid yang memilki otoritas dari guru mursyidnya sambung menyambung sampai kepada Baginda Nabi SAW.
  3. Tidak didapat melalui mimpi.
  4. Adanya khirqah atau ilbas yang dimiliki oleh Mursyid tersebut. (ini yang sangat kuat menunjukkan otoritasnya) karena ia memiliki khirqah yang maknanya sesuatu peninggalan dari Baginda Nabi SAW atau dari Imam Thariqahnya, yang diberikan secara turun menurun dari setiap guru mursyid terdahulu sampai kepada sang mursyid guru kita sekarang tersebut yang mana bukti otentik khirqah/ilbas tersebut diketahui oleh banyak saksinya.



 
Design by Wordpress Theme | Bloggerized by Free Blogger Templates | coupon codes