Ketika kita memejamkan mata dzohir, seketika itu juga kita akan merasakan perbedaan ruhani, seperti : lapar, haus, sakit, sensasi yang menyenangkan, kesedihan dan lain sebagainya. Kita akan merasakan ternyata bukan aku yang sebenarnya yang merasakan lapar, sakit dan sedih, akan tetapi itu adalah sensasi peralatan atau instrumen yang dimiliki oleh sang Aku ( Diri Bathin )
Kita sebenarnya diluar atau diatas semua alat-alat itu!! Maka dari itu kita harus melepaskan diri kita dari yang bukan hakiki, agar tidak diombang-ambingkan oleh peralatan kita sendiri. Sadari Aku ( diri bathin ) adalah yang menguasai segala perasaan dan pikiran, jadilah tuan atas diri kita, keluarlah kita seperti anda melepaskan baju, lalu tinggalkan ,jangan sampai kita memikirkan semuanya itu.
Sadarkan sang Aku (Diri Bathin). Hubungkan dengan dzat yang Maha Mutlak… hadirlah dihadapan-Nya sebagaimana kesaksian Aku dialam `Azali… Panggillah penuh santun didalam qolbumu... Alloh Hu Alloh...Alloh Hu Alloh, tundukkan jiwa kita dengan hormat dan datanglah kehadirat-Nya dengan tawajuh, timbulkan rasa cinta yang dalam, hadirlah terus dalam dzikir, biarkan sensasi pikiran dan perasaan melayang-layang dan menjelajahi bagian-bagian dir kita
Sadarkan dan kembalikan bahwa Aku bukan itu semua, Aku adalah yang menyaksikan semuanya, bersaksilah dengan mengucapkan dua kalimat syahadat. Hujamkam dzikir Ismu Dzat sampai kedalam rasa. Teruskan sampai Aku melayang menembus semua alam-alam yang menghalangi, biarkan Aku berjalan menuju Yang Maha tak Terhingga jangan perdulikan kebisingan diluar diri kita.. teruskan jangan berhenti hingga dzikir kita akan berubah dengan sendirinya bukan dari rekayasa pikiran… Kalau sudah mencapai keadaan seperti ini dzikir kita?… sedikit-demi sedikit dzikir kita akan terbawa saat bekerja, sedang makan dan minum, mengangkat takbir, saat shalat ataupun wudhu dan setiap aktifitas adalah dzikir.
Suasana dzikir yang membekas dan menyebabkan hati menjadi tenang luar biasa, sehingga dzikir bukan lagi sebuah lafadz akan tetapi merupakan suasana ingat dan ihsan. Apabila keadaan dzikir kita sudah terasa menyelimuti hati, pikiran dan badan kita, frekwensi getaran makin lama makin terasa dan semakin kuat rasa sambung kepada Allah. Hati kita semakin sensitif mudah menangis dan kadang tidak bisa ditahan saat anda membaca Alqur’an dan shalat walaupun anda tidak mengerti artinya.
Dzikir itu apa ?
Dzikir kepada Allah bukan hanya sekedar menyebut nama Allah di dalam
lisan atau didalam pikiran dan hati. Akan tetapi dzikir kepada Allah
ialah ingat kepada Asma, Dzat, Sifat, dan Af’al-Nya. Kemudian
memasrahkan kepada-Nya hidup dan mati kita, sehingga tidak akan ada lagi
rasa khawatir dan takut maupun gentar dalam menghadapi segala macam
mara bahaya dan cobaan. Sebab kematian baginya merupakan pertemuan dan
kembalinya roh kepada raja diraja Yang Maha Kuasa.Mustahil orang dikatakan berdzikir kepada Allah yang sangat dekat, ternyata hatinya masih resah dan takut, berbohong, tidak patuh terhadap perintah-Nya dll. Konkritnya berdzikir kepada Allah adalah merasakan keberadaan Allah itu sangat dekat, sehingga mustahil kita berlaku tidak senonoh dihadapanNya, berbuat curang, dan tidak meng-indahkan perintah-Nya.
Ada sebagian ahli dzikir yang tidak mau melaksanakan ibadah shalat, dengan dalil sudah sampai kepada tingkat ma’rifat atau fana. Dengan alasan wa aqimish shalata lidzikri (dirikanlah shalat untuk mengingat Aku … Thaha:14), karena tujuan shalat adalah ingat. Namun ia tidak sadar, bahwa ingat disini… tidak hanya kepada nama-Nya atau kepada dzat-Nya, akan tetapi konsekwensinya harus menerima apa kemauan yang di ingat, yaitu kemauan Allah Swt seperti apa yang telah
diperintahkan didalam syariat-Nya.
Lalu apa yang dimaksud dengan dzikir lisan, dzikir qalbi, atau dzikir sirri?
Syekh Ahmad Bahjad dalam bukunya “Mengenal Allah”, memberikan pengertian sbb :
“Dzikir secara lisan seperti menyebut nama Allah berulang-ulang. Dan satu tingkat diatas dzikir lisan adalah hadirnya pemikiran tentang Allah dalam kalbu, kemudian upaya menegakkan hukum syariat Allah dimuka bumi dan membumikan Al Qur’an dalam kehidupan. Juga termasuk dzikir adalah memperbagus kualitas amal sehari-hari dan menjadikan dzikir ini sebagai pemacu kreatifitas baru dalam bekerja dengan mengarahkan niat kepada Allah (lillahita’ala ). “
Sebagian ulama lain membagi dzikir menjadi dua yaitu: dzikir dengan lisan, dan dzikir di dalam hati. Dzikir lisan merupakan jalan yang akan menghantar pikiran dan perasaan yang kacau menuju kepada ketetapan dzikir hati; kemudian dengan dzikir hati inilah semua kedalaman ruhani akan kelihatan lebih luas, sebab dalam wilayah hati ini Allah akan mengirimkan pengetahuan berupa ilham.
Imam Alqusyairi mengatakan : “Jika seorang hamba berdzikir dengan lisan dan hatinya, berarti dia adalah seorang yang sempurna dalam sifat dan tingkah lakunya.”
Dzikir kepada Allah bermakna, bahwa manusia sadar akan dirinya yang berasal dari Sang Khalik, yang senantiasa mengawasi segala perbuatannya. Dengan demikian manusia mustahil akan berani berbuat curang dan maksiat dihadapan-Nya.
Dzikir berarti kehidupan, karena manusia ini adalah makhluq yang akan binasa (fana), sementara Allah senantiasa hidup, melihat, berkuasa, dekat, dan mendengar, sedangkan menghubungkan (dzikir) dengan Allah, berarti menghubung-kan dengan sumber kehidupan ( Al Hayyu).
Sabda Rasulullah :
“Perumpamaan orang yang berdzikir dengan orang yang tidak berdzikir seperti orang yang hidup dengan orang yang mati.” (HR.Bukhari)
Itulah gambaran dzikir yang dituturkan Rasulullah Saw. Bahwa dzikir kepada Allah itu bukan sekedar ungkapan sastra, nyanyian, hitungan-hitungan lafadz, melainkan suatu hakikat yang diyakini didalam jiwa dan merasakan kehadiran Allah disegenap keadaan, serta berpegang teguh dan menyandarkan kepada-Nya hidup dan matinya hanya untuk Allah semata.
Firman Allah :
“Dan sebutlah (nama) Tuhanmu dalam hatimu (jiwamu) dengan merendahkan diri dan rasa takut, dan dengan tidak mengeraskan suara, di waktu pagi dan petang, dan janganlah kamu termasuk orang-orang yang lalai.” (Qs Al A’Raaf :205)
Aku hadapkan wajahku kepada wajah yang menciptakan langit dan bumi, dengan lurus. Aku bukanlah orang yang berbuat syirik, sesungguhnya shalatku, ibadahku, hidupku, dan matiku kuserahkan (berserah diri) kepada Tuhan sekalian Alam….
Adapun hitungan-hitungan lafadz, seperti membaca Asmaul Husna, membaca Alqur’an, shalat, haji, zakat, dll, merupakan bagian dari sarana dzikrullah, bukan dzikir itu sendiri, yaitu dalam rangka menuju penyerahan diri (lahir dan bathin) kepada Allah. Tidak ada kemuliaan yang lebih tinggi dari pada dzikir dan tidak ada nilai yang lebih berharga dari usaha menghadirkan Allah dalam hati, bersujud karena keagungan-Nya, dan tunduk kepada semua perintah-Nya serta menerima setiap keputusan-Nya Yang Maha Bijaksana
Dzikir berarti cinta kepada Allah, tidak ada tingkatan yang lebih tinggi diatas kecintaan kepada Allah, maka berdzikirlah kamu (dengan menyebut) Allah, sebagaimana kamu ingat kepada orang tua kalian, atau bahkan lebih dari itu. (Al Baqarah :200)
“Katakanlah, jika bapak-bapak, anak-anak, saudara-saudara, istri-istri, kaum keluargamu, harta kekayaan yang kamu usahakan, perniagaaan yang kamu khawatiri kerugiannya, dan rumah-rumah tinggal yang kamu sukai, adalah lebih kamu cintai dari pada Allah dan Rasul-Nya dan (dari) berjihad di jalan-Nya, maka tunggulah sampai Allah mendatangkan keputusan-Nya. Dan Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang fasik.” (Qs. At Taubah :24)
0 komentar:
Posting Komentar