Bagaimanakah ciri-ciri Mursyid Kamil yang munculnya 100 tahun sekali dan yang menjadi seorang pemimpin jaman?
Menurut kitab Khozinatul-Asror
halaman 194 disebutkan bahwa Guru Mursyid yang sah menjadi pewaris Nabi
Muhammad SAW diantaranya adalah :
1.Seorang yang pintar (alim), karena yang bodoh tidak akan mampu memberi Irsyad (Petunjuk)
Tidak mencintai dunia dan pangkat
2.Baik dalam mendidik Nafsunya (Riyadlotun-Nafsi), seperti sedikit makan
dan minum, serta berbicara dan banyak shalat, shadaqah serta berpuasa.
3.Mempunyai sifat dan akhlaq terpuji, seperti : sabar, syukur, tawakkal, yakin, pemurah, qanaah, pengasih, rawadhu, shiddiq, haya, wafa, wiqor dan syukur (untuk lebih jelasnya lihat kitab tersebut).
Dalam tradisi tasawuf, peran seorang
Mursyid (pembimbing atau guru ruhani) merupakan syarat mutlak untuk mencapai tahapan-tahapan puncak spiritual. Eksistensi dan fungsi Mursyid atau wilayah kemursyidan ini ditolak oleh sebagaian ulama yang anti tasawuf atau mereka yang memahami tasawuf dengan cara-cara individual.
Mereka merasa mampu menembus jalan ruhani yang penuh dengan rahasia
menurut metode dan cara mereka sendiri,
bahkan dengan mengandalkan pengetahuan yang selama ini mereka dapatkan
dari ajaran Al-Qur’an dan Sunnah. Namun karena pemahaman terhadap kedua
sumber ajaran tersebut terbatas, mereka mengklaim bahwa dunia tasawuf
bisa ditempuh tanpa bimbingan seorang Mursyid.
Pandangan
demikian hanya layak secara teoritis belaka. Tetapi daslam praktek
sufisme, hampir bisa dipastikan, bahwa mereka hanya meraih kegagalan
spiritual. Bukti-bukti historis akan kegagalan spoiritual tersebut telah
dibuktikan oleh para ulama sendiri yang mencoba menempuh jalan sufi
tanpa menggunakan bimbingan Mursyid.
Para ulama besar sufi, yang semula
menolak tasawuf, seperti Ibnu Athaillah as-Sakandari, Sulthanul Ulama
Izzuddin Ibnu Abdis Salam, Syeikh Abdul Wahab asy-Sya’rani, dan Hujjatul
Islam Abu Hamid Al-Ghazali akhirnya harus menyerah pada pengembaraannya
sendiri, bahwa dalam proses menuju kepada Allah tetap membutuhkan
seorang Mursyid.
Masing-masing ulama besar tersebut memberikan
kesaksian, bahwa seorang dengan kehebatan ilmu agamanya, tidak akan
mampu menempuh jalan sufi, kecuali atas bimbingan seorang Syekh atau
Mursyid. Sebab dunia pengetahuan agama, seluas apa pun, hanyalah “dunia
ilmu”, yang hakikatnya lahir dari amaliah. Sementara, yang dicerap dari
ilmu adalah produk dari amaliah ulama yang telah dibukakan jalan
ma’rifat itu sendiri.
Jalan ma’rifat itu tidak bisa begitu
saja ditempuh begitu saja dengan mengandalkan pengetahuan akal rasional,
kecuali hanya akan meraih Ilmul Yaqin belaka, belum sampai pada tahap
Haqqul Yaqin.
Alhasil mereka yang merasa sudah sampai kepada Allah (wushul) tanpa bimbingan seorang Mursyid, wushul-nya bisa dikategorikan sebagai wushul yang penuh dengan tipudaya. Sebab, dalam alam metafisika sufisme, mereka yang menempuh jalan sufi tanpa bimbingan ruhani seorang Mursyid, tidak akan mampu membedakan mana hawathif-hawathif (bisikan-bisikan lembut) yang datang dari Allah, dari malaikat atau dari syetan dan bahkan dari jin.
Di sinilah jebakan-jebakan dan tipudaya
penempuh jalan sufi muncul. Oleh sebab itu ada kalam sufi yang sangat
terkenal: “Barangsiapa menempuh jalan Allah tanpa disertai seorang guru,
maka gurunya adalah syetan”.
Oleh sebab itu, seorang ulama
sendiri, tetap membutuhkan seorang pembimbing ruhani, walaupun secara
lahiriah pengetahuan yang dimiliki oleh sang ulama tadi lebih tinggi
dibanding sang Mursyid. Tetapi, tentu saja, dalam soal-soal Ketuhanan,
soal-soal bathiniyah, sang ulama tentu tidak menguasainya.
Posted in: ~ Ciri Mursyid
0 komentar:
Posting Komentar