.

.

Jumat, 09 Maret 2012

KONTEMPLASI DZIKIR

Kontemplasi Ketuhanan Murni (Muraqabah al-Ma’budiyyat ash-Shirfah)
Kontemplasi ini dilakukan dengan cara sebagai berikut :
Anugerah mengalir ke keadaan kesatuanku dari Esensi Murni, satu-satunya Zat Yang Berhak Disembah.

Di sini, bermulalah tahap Kemestian Mutlak, atua tahap tafrid (keterpisahan) dan tajrid (keterlepasan) Esensi Suci. Sesudah ini, tidak ada langkah lebih jauh lagi yang diambil. Dalam mi’raj atau “Kenaikan”, Nabi Muhammad diminta berhenti di tempat ini. Akan tetapi, dengan Rahmat Allah, visi atau pandangan pun tidak terhenti. Langkah menjadi lemah dan lamban, tetapi pandangan makin bertambah kuat dan jelas. Seorang yang diliputi ekstasi mengungkapkan perasaannya tentang tahap ini sebagai berikut :

Engkau laksana sebatang pohon tinggi menjulang !
Kami tak sanggup menggapai ketinggian-Mu !

Rahasia dari kalimat La ilaha illallah pun tersingkap pada tahap ini. Jelaslah bahwa ibadah jenis apa pun mesti ditujukan kepada Allah dalam keadaan kesatuan abstrak atau hadhrat al-majarrad semata dan bukan kepada Nama-nama dan Sifat-sifat Ilahi.

Yang jelas, wujud-wujud yang bersifat mungkin tidak berhak disembah dan diibadahi. Karena itu, syirk atau menyekutukan Allah dengan yang lainnya benar-benar disingkirkan. Sang hamba (‘abd) sepenuhnya terpisah dari Ma’bud (Tuhan).

Jelaslah bahwa La Ma’buda illa Allah (Tidak ada yang berhak disembah kecuali Allah) adalah tujuan yang sesuai bagi kaum arif, sebagaimana La Mawjuda illa Allah (Tidak maujud kecuali Allah) bagi mereka yang berada dalam posisi pertengahan dalam suluk, dan La Maqshuda illa Allah (Tidak ada tujuan kecuali Allah) bagi para pemula yang tengah menempuh jalan spiritual. Kaum arif sangat gembira dan berbahagia dalam menunaikan ibadah-ibadah sunnat yang disebut nawafil

Kontemplasi Hakikat Salat (Muraqabah al-Haqiqat Ash-Shalat)

Dalam Lingkaran ini, kontemplasi dilakukan dengan cara sebagai berikut :
Anugerah mengalir menuju kebersatuanku, dari Kesempurnaan Esensi Murni Yang Maha Mencakup, yang merupakan Tujuan pencarian Hakikat Salat.

Mustahil kiranya menggambarkan kemuliaan,keagungan, dan kemahaluasan dalam tahap ini dengan kata-kata. hakikat Ka’bah dan Hakikat Alquran hanya bertindak selaku penyumbangnya saja. Seorang arif yang deberkahi dengan Hakikat ini, ketika melakukan salat, meninggalkan dunia fana ini dan menuju Rumah Abadi.

Dan sesuai dengan perintah Nabi, “Beribadahlah kepada Allah seakan-akan engkau melihat-Nya”, ia pun bahagia merasakan Kehadiran Tuhannya. Ia melihat Allah dengan mata batinnya. Karena itu, tidak ada hijab atau tirai yang menghalanginya satu  sama lain.

Kemahaluasan itu terlihat dalam keindahan, kebesaran, dan keagungan-Nya. Keadaan ini dipandang sebagai quasi-visi ; sebab keindahan visi Allah,menurut ajaran-ajaran dalam tarekat ini, dinikmati hanya oleh orang-orang saleh di akhirat kelak. Contoh dari ini sebagian bisa dialami dalam salat.

Manakala seorang memulai salatnya, ia membasuh tangannya dari dua dunia ini, berpaling darinya, dan mengucapkan Allahu Akbar (Allah Mahabesar) dengan penuh semangat, menghadap ke Haribaan Penguasa Alam Semesta Yang Mahakuasa, serta menyadari keagungan, kebesaran, dan kemahakuasaan-Nya, dan kerendahan dirinya di sisi lain. Ia mengorbankan dirinya di altar Cinta-Nya.

Ketika sedang benar-benar melakukan salat, sang hamba mengingatkan dirinya akan keagungan Allah dan mulai menyeru-Nya. Lidahnya menjadi seperti pohon Musa yang melaluinya Allah berbicara kepadanya. Manakala ia bertekuk lututdi Haribaan Allah untuk mengungkapkan ketakziman, kerendahan, dan keimanan, maka ia pun mencapai derajat tinggi kedekatan kepada Allah.

Dan dengan bibirnya memuji Allah,ia berdiri menunaikan salat. Sekali lagi,untuk mengungkapkan kerendahan dan kelemahannya, kehambaan dan kehinaan, ia pun bertekuk lutut di bawah kaki-Nya, memendang-Nya, serta dalam kondisi ini, mengalami kebahagiaan tak terlukiskan. Tampaknya, esensi salat sujud (sajadah) Nabi Muhammad bersabda, “Seseorang yang sujud dalam salat sama dengan bersujud di bawah kaki Allah dan dekat dengan Allah, sebagaimana dikatakan di Alquran, ‘... Sujudlah dan dekatkan dirimu (kepada Allah).” (QS Al-Alaq, 96 : 19).

Perasaan itu diungkapkan oleh seorang pencinta Allah demikian :
Meletakkan kepala di bawah kaki-Mu, sungguh membahagiakan !
Mengungkapkan segenap rahasia hatiku kepada-Mu, sungguh membahagiakan !

Kedekatan yang dicapai dalam sujud mengisyaratkan bahwa apa yang tidak tercapai kini telah dicapai. Kemudian sang hamba mengangkat kepalanya dan, sambil mengucapkan Allahu Akbar, duduk di hadapan Tuhannya. Ini berarti ia mengakui bahwa Allah sedemikian Mahabesar sehingga ia sepertinya tak bisa menyembah-Nya sebagaimana selayaknya Dia harus disembah,dan ia tidak sanggup mencapai kedekatan kepada-Nya sebagaimana Dia harus didekati. Sambil duduk, ia memohon kepada Allah untuk mengampuni kesalahannya, yang disebabkan oleh kesalahpahaman bahwa ia telah mencapai kedekatan kepada-Nya. Ia berkata, “Ya Tuhanku, ampunilah aku dan kasihanilah aku.”

Kemudian, ia bersujud lagi dengan memuji Allah, masih berusaha menghampiri-Nya. Sambil meletakkan kepalanya di bawah kaki Kekasih sejatinya, ia memuji-Nya. kemudian, ia mengangkat kepalanya, dan duduk lagi di hadapan Tuhannya serta bersyukur dengan tulus ikhlas atas segala anugerah dan hikmat yang diberikan kepadanya, dan secara khusus atas karunia kedekatan kepada Allah (qurb) yang dianugerahkan kepadanya. Dengan hati penuh syukur dan berbahagia, ia berkata kepada dirinya sendiri :

Aku merasa amat bangga berada dalam Jamaah Cinta itu,
Di mana Raja dan pengemis duduk bertatap muka.
Alasan mengapa sang hamba mengucapkan syahadah :
Aku bersaksi bahwa tidak ada tuhan selain Allah, dan
Aku bersaksi bahwa Muahmmad adalah hamba dan utusan-Nya.

Dalam posisi duduk ialah bahwa anugerah Kedekatan kepada Allah tidaklah diberikan kecuali bila kita beriman pada kalimat kesaksian ini, yang menegaskan prinsip Tawhid atau “Keesaan Allah” dan kenabian Muhammad. Ia menyampaikan doa dan shalawat kepada Nabi. Ia (sang Sufi) memang harus demikian lantaran ia telah menerima anugerah ini.

Salat mempunyai kekuatan dan signifikansi luar biasa dalam Tasawuf. sebagaimana disabdakan oleh Nabi, “Salat adalah Kenaikan (mi’raj) orang-orang Mukmin (menuju Allah.” Nabi Muhammad juga bersabda, “Hanya dalam salat saja seorang hamba bisa dekat dengan Allah.” Beliau bersabda pula, “Seseorang yang menunaikan salat sebenarnya tengah berbincang-bincang dengan Allah.”

Seandainya tidak ada salat, maka bagaimana mungkin hijab atau tirai bisa disingkapkan dari wajah Kekasih, dan siapakah yang sanggup membimbing sang pencinta menuju Kekasihnya ? Benarlah apa yang dikatakan dibawah ini :

Hanya salat saja yang bisa mempengaruhi Kekasih
untuk mengungkapkan diri-Nya,
Hanya salat saja yang bisa mengangkat tirai
dari Wajah-Nya yang tampan !
Tidak ada kedamaian jiwa tanpa salat,
Demi bersatu dengan Allah sajalah apa yang diperuntukkan oleh unio mystica bagi seekor burung yang disembelih !

Nabi bersabda bahwa salat adalah kenikmatan terbesar. Setiap kali menyuruh Bilal untuk mengumandangkan azan, beliau berkata, “Gembirakanlah kami, wahai Bilal !”
Sulit melukiskan keadaan jiwa kaum arif yang tenggelam dalam salat. Sungguh benar apa yang dikatakan Sa’di :

Cakrawala pandangan kita terbatas,
sementara keindahan-Mu tak terbatas !
Para penyembah-Mu mengeluh dan merintih
atas segala keterbatasan mereka !

Salat menghubungkan sang hamba dengan Tuhan, dan mengisi jiwanya dengan cahaya-cahaya yang memancar darinya. Hubungan halus sang hamba dengan Tuhan, rahasianya dengan kedudukan tinggi dan kemuliannya, pun terlihat dan dirasakan dalam salat. Itulah sebabnya Allah menyebut dirinya sebagai “hamba-Nya” (abduhu) atau “budak-Nya”.

Sebagian orang bahkan mengatakan menjadi hamba. Kehambaan (‘abdiyyah) ini dicapai dalam salat ! Salat adalah anugerah khusus kepada manusia yang diberikan Allah melalui Nabi-Nya guna mengenang peristiwa mi’raj beliau (sebagaimana disebutkan dalam Alquran). Bersyukur atasnya, hati pun berseru :

Ya Allah ! Seolah-olah aku merasa menawarkan diriku
sebagai korban di altar kemahamurahan-Mu
Kehidupanku tak sanggup melunasi kemahamurahan-Mu !

Ketika memikirkan salat sempurna dari Manusia Paripurna, Rumi memperingatkan jiwa yang lalai demikian, “Satu rakaatnya lebih baik ketimbang seribu rakaatmu, wahai manusia tak berguna !”

Hadhrat Syah Abu Sa’id mengatakan bahwa di saat sedang menunaikan salat,jika seluruh tertib dan rukun diamalkan, maka hakikat salat akan benar-benar bisa dirasakan. Umpamanya saja, salah satu rukunnya adalah bahwa, disaat sedang berdiri dalam salat, pandangan seseorang yang menunaikan salat mestilah diarahkan pada tempat sujudnya ; dalam ruku’ pada kakinya ; ketika sujud dan duduk di antara dua sujud, pandangan mesti diarahkan pada ujung hidungnya.

Sebagian orang menutup mata mereka ketika sedang berdiri dalam salat. Ini dilakukan untuk memperoleh ketenangan jiwa dan memusatkan perhatian kepada Allah. Memang benar bahwa, dengan berbuat demikian, segenap lathifah menjadi aktif dalam mengingat Allah dan kedamaian jiwa pun bisa dirasakan. Akan tetapi, yang demikian ini tidak diperlukan untuk mencapai keadaan yang lebih tinggi lagi. Menutup mata memang bid’ah, tetapi diperbolehkan demi merasakan Kehadiran Allah.

Rukun lainnya adalah mendengarkan bacaan Alquran. Ini bisa membantu dalam membangkitkan keadaan mistis dalam kewalian. Mendengarkan bacaan Alquran dengan benar bakal melahirkan manifestasi hubungan dengan berbagai hakikat yang lebih tinggi.
Sebuah Lingkaran Hakikat Salat, yang berikutnya adalah Lingkaran Kehambaan Murni dan ini adalah sumber bagi seluruh lingkaran lainnya.

Kontemplasi Hakikat Alquran (Muraqabah al-Haqiqat al-Qur’an)

Sesudah Lingkaran Hakikat Ka’bah, Lingkaran Hakikat Alquran pun tersingkap. Metode kontemplasinya adalah sebagai berikut :

Anugerah mengalir dari Esensi Murni, Sumber Kemahaluasan tiada tara dan Tujuan di balik Hakikat Alquran, menuju keadaan kebersamaanku (dengan-Nya).
Manakala seorang arif mencapai tahap ini, ia pun menerima berkah, dan melihat cahaya Kalam abadi Allah serta mengetahui rahasianya yang tersembunyi. Ia mendapati bahwa setiap kata dalam Alquran bersifat ekspresif, penting dan mengandung makna.

Dan manakala ia membaca Alquran, lidahnya memerankan pohon yang darinya Musa mendengar suara : “Sesungguhnya, Aku adalah Tuhanmu,….(QS Thaha, 20 : 12), dan Allah berbicara melalui lidah sang hamba. Nabi Muhammad saw. bersabda bahwa Allah berfirman : “Aku menjadi lidah (sang hamba) yang dengannya ia berbicara. ” Segenap raga dari seorang hamba seperti ini menjadi seperti lidah, dan ia merasakan beban dalam dirinya, seolah-olah “Akan Kami turunkan kepadamu perkataan yang berat (membebanimu).” (QS Al-Muzammil, 73 : 5) telah ditimpakan pada hatinya.

Dalam hubungan ini, kaum Mujaddidiyyah mengatakan “Allah berbicara kepadaku sedemikian rupa sehungga tak ada seorang pun mendengarkan, dan tak ada satu mata pun melihat.” Seorang Syaikh terkemuka lainnya dalam tarekat ini, Hadhrat Ghulam ‘Ali Syah, mengatakan, “Dua kali aku mendengar Kalam Allah, tetapi tak ada bunyi atau sepatah kata pun di dalamnya.” Hadhrat Khwaja Ma’shum mengatakan, “Allah berbicara kepada hamba pilihan-Nya sedemikian rupa sehingga selalu berbeda dari cara Dia berbicara kepada lainnya.”

Pada tahap ini, makna huruf-huruf yang disingkat (al-huruf al-muqaththa’ah) dalam Alquran (yang ada di awal beberapa surah seperti , Alif-lam-mim, Tha-ha, Ya-sin) pun terungkap. Akan tetapi, yang demikian ini tidak bisa diungkapkan dalam kata-kata.

Kontemplasi Hakikat Ka’bah (Muraqabah al-Haqiqat al-Ka’bah)

Sesudah merampungkan lingkaran Kesempurnaan ulu al-’azm, sang penempuh jalan spiritual, dengan Rahmat Allah, memasuki Lingkaran Hakikat Ka’bah. Di sini, perjalanan bersifat visioner, dan bukan bersifat fisik secara aktual. Kontemplasi dilakukan dengan cara sebagai berikut :

Anugerah mengalir dari Esensi Murni, yang di hadapan-Nya seluruh makhluk bersujud dan yang merupakan tujuan di balik Hakikat Ka’bah, menuju kebersamaanku (dengan-Nya).
Yang dimaksud dengan “Hakikat Ka’bah” ialah manifestasi Kebesaran dan Keagungan Allah yang Mahakuasa. Kebesaran dan Keagungan inilah yang di hadapannya bersujud seluruh makhluk yang bersifat mungkin. Menurut sebuah hadis, Allah berfirman, “Keagungan adalah jubah-Ku”.

Keagungan dan Keperkasaan menjadi diri-Nya
Yang wilayahnya abadi dan mandiri pada diri-Nya sendiri.

Menghadapi Keagungan dan Kebesaran-Nya serta menegaskan jiwa manusia adalah mustahil. Sesungguhnya, adalah ketololan belaka untuk memikirkannya hatta dalam kehadiran yang penuh dengan keagungan dan kebesaran sekali pun. Di sini, bahkan Sifat-sifat,yang berkaitan erat dengan Esensi, tidak bisa dipahami. Karena itu, mana mungkin memikirkan eksistensi objek lainnya ?

Bangunan Ka’bah di Makkah, yang di hadapannya kelihatannya kita bersujud, hanyalah sebuah manifestasi Hakikat di balik Ka’bah, dan itu identik dengan Esensi Allah. Setiap orang tahu bahwa sebuah bentuk atau sebuah tampilan memiliki hubungan erat dengan hakikat yang bentuk atau tampilannya adalah dirinya sendiri.

Dengan demikian, jelaslah bahwa objek yang di hapadannya seseorang itu ruku’ dan sujud bukanlah Ka’bah yang bersifat material,melainkan Hakikat di baliknya itu. Sekalipun terbebas dari segenap kualitas dan kuatintas, dan dengan demikian tidak bisa diungkapkan serta dibandingkan, Hakikat ini secara mistis dimanifestasikan pada dunia fenomina. Seperti dikatakan seseorang yang terliputi oleh ekstasi :

Pantulan cahaya Hakikat di alam kasat-mata, tak lain,
Hanyalah sebuah misteri cinta, rahasia tersembunyi !

Hal ini juga diungkapkan demikian :
Hal uang kasat mata adalah jembatan menuju Yang Mahabenar.
Hal yang kasat mata tak lain hanyalah sarana yang di gunakan oleh Yang Mahaabadi untuk menarik budak-budak dunia kualitas dan kuantitas ini kepada diri-Nya. Bangunan fisik Ka’bah adalah penghubung antara sang pencari dan Yang Dcari, karena berhubungan dengan Hakikat itu sendiri.

Menurut penafsiran Sufi, begitu pula hanya dengan “Manusia Sempurna” (al-insan al-kamil, yakni makhluk yang sadar dan berkembang) — penghubung antara sang pencari dan Yang Dicari.
Rahasia-rahasia dalam tahap ini tidak bisa diungkapkan. Kata-kata tidak sanggup mengungkapkannya.

Segenap rahasia itu mengatasi segenap pikiran, imajinasi, dan persepsi, Jika harus dikemukakan sebuah analogi, maka bisa dikatakan bahwa rahasia-rahasia itu laksana mata indah kekasih yang membuat mabuk orang yang mencintainya dan membuatnya kehilangan akal sehatnya. Seperti dikatakan seorang pencinta :

Mata indahnya sedemikian membingungkan sehingga, sesudah meninggalkan sesuatu, aku harus meninggalkan diriku sendiri !
Barangkali, itulah sebabnya mengapa Ka’bah diberi jubah hitam. Seorang yang diliputi ekstase mengatakan :

Meski engkau tampil berjubah hitam,
Engkau tetaplah yang memberi cahaya pada bulan.

Manakala sang hamba menyadari kebenaran ini dan teridentifikasi dengannya, yakni sesudah mengalami kefanaan diri, ia menetap dalam Hakikat, ia mendapati segenap alam semesta bersujud di hadapan dirinya. Sesungguhnyalah, sujud hanya boleh dilakukan di hadapan Pencerahan Esensi Ilahi semata.

0 komentar:

 
Design by Wordpress Theme | Bloggerized by Free Blogger Templates | coupon codes