Kontemplasi Ketuhanan Murni (Muraqabah al-Ma’budiyyat ash-Shirfah)
Kontemplasi ini dilakukan dengan cara sebagai berikut :
Anugerah mengalir ke keadaan kesatuanku dari Esensi Murni, satu-satunya Zat Yang Berhak Disembah.
Di sini, bermulalah tahap Kemestian Mutlak, atua tahap tafrid (keterpisahan) dan tajrid (keterlepasan) Esensi Suci. Sesudah ini, tidak ada langkah lebih jauh lagi yang diambil. Dalam mi’raj atau “Kenaikan”, Nabi Muhammad diminta berhenti di tempat ini. Akan tetapi, dengan Rahmat Allah, visi atau pandangan pun tidak terhenti. Langkah menjadi lemah dan lamban, tetapi pandangan makin bertambah kuat dan jelas. Seorang yang diliputi ekstasi mengungkapkan perasaannya tentang tahap ini sebagai berikut :
Engkau laksana sebatang pohon tinggi menjulang !
Kami tak sanggup menggapai ketinggian-Mu !
Rahasia dari kalimat La ilaha illallah pun tersingkap pada tahap ini. Jelaslah bahwa ibadah jenis apa pun mesti ditujukan kepada Allah dalam keadaan kesatuan abstrak atau hadhrat al-majarrad semata dan bukan kepada Nama-nama dan Sifat-sifat Ilahi.
Yang jelas, wujud-wujud yang bersifat mungkin tidak berhak disembah dan diibadahi. Karena itu, syirk atau menyekutukan Allah dengan yang lainnya benar-benar disingkirkan. Sang hamba (‘abd) sepenuhnya terpisah dari Ma’bud (Tuhan).
Jelaslah bahwa La Ma’buda illa Allah (Tidak ada yang berhak disembah kecuali Allah) adalah tujuan yang sesuai bagi kaum arif, sebagaimana La Mawjuda illa Allah (Tidak maujud kecuali Allah) bagi mereka yang berada dalam posisi pertengahan dalam suluk, dan La Maqshuda illa Allah (Tidak ada tujuan kecuali Allah) bagi para pemula yang tengah menempuh jalan spiritual. Kaum arif sangat gembira dan berbahagia dalam menunaikan ibadah-ibadah sunnat yang disebut nawafil
Anugerah mengalir ke keadaan kesatuanku dari Esensi Murni, satu-satunya Zat Yang Berhak Disembah.
Di sini, bermulalah tahap Kemestian Mutlak, atua tahap tafrid (keterpisahan) dan tajrid (keterlepasan) Esensi Suci. Sesudah ini, tidak ada langkah lebih jauh lagi yang diambil. Dalam mi’raj atau “Kenaikan”, Nabi Muhammad diminta berhenti di tempat ini. Akan tetapi, dengan Rahmat Allah, visi atau pandangan pun tidak terhenti. Langkah menjadi lemah dan lamban, tetapi pandangan makin bertambah kuat dan jelas. Seorang yang diliputi ekstasi mengungkapkan perasaannya tentang tahap ini sebagai berikut :
Engkau laksana sebatang pohon tinggi menjulang !
Kami tak sanggup menggapai ketinggian-Mu !
Rahasia dari kalimat La ilaha illallah pun tersingkap pada tahap ini. Jelaslah bahwa ibadah jenis apa pun mesti ditujukan kepada Allah dalam keadaan kesatuan abstrak atau hadhrat al-majarrad semata dan bukan kepada Nama-nama dan Sifat-sifat Ilahi.
Yang jelas, wujud-wujud yang bersifat mungkin tidak berhak disembah dan diibadahi. Karena itu, syirk atau menyekutukan Allah dengan yang lainnya benar-benar disingkirkan. Sang hamba (‘abd) sepenuhnya terpisah dari Ma’bud (Tuhan).
Jelaslah bahwa La Ma’buda illa Allah (Tidak ada yang berhak disembah kecuali Allah) adalah tujuan yang sesuai bagi kaum arif, sebagaimana La Mawjuda illa Allah (Tidak maujud kecuali Allah) bagi mereka yang berada dalam posisi pertengahan dalam suluk, dan La Maqshuda illa Allah (Tidak ada tujuan kecuali Allah) bagi para pemula yang tengah menempuh jalan spiritual. Kaum arif sangat gembira dan berbahagia dalam menunaikan ibadah-ibadah sunnat yang disebut nawafil
Kontemplasi Hakikat Alquran (Muraqabah al-Haqiqat al-Qur’an)
Sesudah Lingkaran Hakikat Ka’bah, Lingkaran Hakikat Alquran pun tersingkap. Metode kontemplasinya adalah sebagai berikut :
Anugerah mengalir dari Esensi Murni, Sumber Kemahaluasan tiada tara dan Tujuan di balik Hakikat Alquran, menuju keadaan kebersamaanku (dengan-Nya).
Manakala seorang arif mencapai tahap ini, ia pun menerima berkah, dan melihat cahaya Kalam abadi Allah serta mengetahui rahasianya yang tersembunyi. Ia mendapati bahwa setiap kata dalam Alquran bersifat ekspresif, penting dan mengandung makna.
Dan manakala ia membaca Alquran, lidahnya memerankan pohon yang darinya Musa mendengar suara : “Sesungguhnya, Aku adalah Tuhanmu,….(QS Thaha, 20 : 12), dan Allah berbicara melalui lidah sang hamba. Nabi Muhammad saw. bersabda bahwa Allah berfirman : “Aku menjadi lidah (sang hamba) yang dengannya ia berbicara. ” Segenap raga dari seorang hamba seperti ini menjadi seperti lidah, dan ia merasakan beban dalam dirinya, seolah-olah “Akan Kami turunkan kepadamu perkataan yang berat (membebanimu).” (QS Al-Muzammil, 73 : 5) telah ditimpakan pada hatinya.
Dalam hubungan ini, kaum Mujaddidiyyah mengatakan “Allah berbicara kepadaku sedemikian rupa sehungga tak ada seorang pun mendengarkan, dan tak ada satu mata pun melihat.” Seorang Syaikh terkemuka lainnya dalam tarekat ini, Hadhrat Ghulam ‘Ali Syah, mengatakan, “Dua kali aku mendengar Kalam Allah, tetapi tak ada bunyi atau sepatah kata pun di dalamnya.” Hadhrat Khwaja Ma’shum mengatakan, “Allah berbicara kepada hamba pilihan-Nya sedemikian rupa sehingga selalu berbeda dari cara Dia berbicara kepada lainnya.”
Pada tahap ini, makna huruf-huruf yang disingkat (al-huruf al-muqaththa’ah) dalam Alquran (yang ada di awal beberapa surah seperti , Alif-lam-mim, Tha-ha, Ya-sin) pun terungkap. Akan tetapi, yang demikian ini tidak bisa diungkapkan dalam kata-kata.
Anugerah mengalir dari Esensi Murni, Sumber Kemahaluasan tiada tara dan Tujuan di balik Hakikat Alquran, menuju keadaan kebersamaanku (dengan-Nya).
Manakala seorang arif mencapai tahap ini, ia pun menerima berkah, dan melihat cahaya Kalam abadi Allah serta mengetahui rahasianya yang tersembunyi. Ia mendapati bahwa setiap kata dalam Alquran bersifat ekspresif, penting dan mengandung makna.
Dan manakala ia membaca Alquran, lidahnya memerankan pohon yang darinya Musa mendengar suara : “Sesungguhnya, Aku adalah Tuhanmu,….(QS Thaha, 20 : 12), dan Allah berbicara melalui lidah sang hamba. Nabi Muhammad saw. bersabda bahwa Allah berfirman : “Aku menjadi lidah (sang hamba) yang dengannya ia berbicara. ” Segenap raga dari seorang hamba seperti ini menjadi seperti lidah, dan ia merasakan beban dalam dirinya, seolah-olah “Akan Kami turunkan kepadamu perkataan yang berat (membebanimu).” (QS Al-Muzammil, 73 : 5) telah ditimpakan pada hatinya.
Dalam hubungan ini, kaum Mujaddidiyyah mengatakan “Allah berbicara kepadaku sedemikian rupa sehungga tak ada seorang pun mendengarkan, dan tak ada satu mata pun melihat.” Seorang Syaikh terkemuka lainnya dalam tarekat ini, Hadhrat Ghulam ‘Ali Syah, mengatakan, “Dua kali aku mendengar Kalam Allah, tetapi tak ada bunyi atau sepatah kata pun di dalamnya.” Hadhrat Khwaja Ma’shum mengatakan, “Allah berbicara kepada hamba pilihan-Nya sedemikian rupa sehingga selalu berbeda dari cara Dia berbicara kepada lainnya.”
Pada tahap ini, makna huruf-huruf yang disingkat (al-huruf al-muqaththa’ah) dalam Alquran (yang ada di awal beberapa surah seperti , Alif-lam-mim, Tha-ha, Ya-sin) pun terungkap. Akan tetapi, yang demikian ini tidak bisa diungkapkan dalam kata-kata.
Kontemplasi Hakikat Ka’bah (Muraqabah al-Haqiqat al-Ka’bah)
Sesudah merampungkan lingkaran Kesempurnaan ulu al-’azm,
sang penempuh jalan spiritual, dengan Rahmat Allah, memasuki Lingkaran
Hakikat Ka’bah. Di sini, perjalanan bersifat visioner, dan bukan
bersifat fisik secara aktual. Kontemplasi dilakukan dengan cara sebagai
berikut :
Anugerah mengalir dari Esensi Murni, yang di hadapan-Nya seluruh
makhluk bersujud dan yang merupakan tujuan di balik Hakikat Ka’bah,
menuju kebersamaanku (dengan-Nya).
Yang dimaksud dengan “Hakikat Ka’bah” ialah manifestasi Kebesaran dan
Keagungan Allah yang Mahakuasa. Kebesaran dan Keagungan inilah yang di
hadapannya bersujud seluruh makhluk yang bersifat mungkin. Menurut
sebuah hadis, Allah berfirman, “Keagungan adalah jubah-Ku”.
Keagungan dan Keperkasaan menjadi diri-Nya
Yang wilayahnya abadi dan mandiri pada diri-Nya sendiri.
Menghadapi Keagungan dan Kebesaran-Nya serta menegaskan jiwa manusia
adalah mustahil. Sesungguhnya, adalah ketololan belaka untuk
memikirkannya hatta dalam kehadiran yang penuh dengan keagungan dan
kebesaran sekali pun. Di sini, bahkan Sifat-sifat,yang berkaitan erat
dengan Esensi, tidak bisa dipahami. Karena itu, mana mungkin memikirkan
eksistensi objek lainnya ?
Bangunan Ka’bah di Makkah, yang di hadapannya
kelihatannya kita bersujud, hanyalah sebuah manifestasi Hakikat di
balik Ka’bah, dan itu identik dengan Esensi Allah. Setiap orang tahu
bahwa sebuah bentuk atau sebuah tampilan memiliki hubungan erat dengan
hakikat yang bentuk atau tampilannya adalah dirinya sendiri.
Dengan
demikian, jelaslah bahwa objek yang di hapadannya seseorang itu ruku’
dan sujud bukanlah Ka’bah yang bersifat material,melainkan Hakikat di
baliknya itu. Sekalipun terbebas dari segenap kualitas dan kuatintas,
dan dengan demikian tidak bisa diungkapkan serta dibandingkan, Hakikat
ini secara mistis dimanifestasikan pada dunia fenomina. Seperti
dikatakan seseorang yang terliputi oleh ekstasi :
Pantulan cahaya Hakikat di alam kasat-mata, tak lain,
Hanyalah sebuah misteri cinta, rahasia tersembunyi !
Hal ini juga diungkapkan demikian :
Hal uang kasat mata adalah jembatan menuju Yang Mahabenar.
Hal yang kasat mata tak lain hanyalah sarana yang di gunakan oleh
Yang Mahaabadi untuk menarik budak-budak dunia kualitas dan kuantitas
ini kepada diri-Nya. Bangunan fisik Ka’bah adalah penghubung antara sang
pencari dan Yang Dcari, karena berhubungan dengan Hakikat itu sendiri.
Menurut penafsiran Sufi, begitu pula hanya dengan “Manusia Sempurna” (al-insan al-kamil, yakni makhluk yang sadar dan berkembang) — penghubung antara sang pencari dan Yang Dicari.
Rahasia-rahasia dalam tahap ini tidak bisa diungkapkan. Kata-kata
tidak sanggup mengungkapkannya.
Segenap rahasia itu mengatasi segenap
pikiran, imajinasi, dan persepsi, Jika harus dikemukakan sebuah analogi,
maka bisa dikatakan bahwa rahasia-rahasia itu laksana mata indah
kekasih yang membuat mabuk orang yang mencintainya dan membuatnya
kehilangan akal sehatnya. Seperti dikatakan seorang pencinta :
Mata indahnya sedemikian membingungkan sehingga, sesudah meninggalkan sesuatu, aku harus meninggalkan diriku sendiri !
Barangkali, itulah sebabnya mengapa Ka’bah diberi jubah hitam. Seorang yang diliputi ekstase mengatakan :
Meski engkau tampil berjubah hitam,
Engkau tetaplah yang memberi cahaya pada bulan.
Manakala sang hamba menyadari kebenaran ini dan teridentifikasi
dengannya, yakni sesudah mengalami kefanaan diri, ia menetap dalam
Hakikat, ia mendapati segenap alam semesta bersujud di hadapan dirinya.
Sesungguhnyalah, sujud hanya boleh dilakukan di hadapan Pencerahan
Esensi Ilahi semata.
0 komentar:
Posting Komentar