Quito R. Motinggo
Imam ash-Shadiq as berkata, “Zikir Lisan itu puja (al-hamd) dan puji (ats-tsana’), Zikir Jiwa (Dzikr
al-Nafs) itu kesungguhan (al-juhd) dan kemauan yang keras (al-‘ana’),
Zikir Ruh itu takut (al-khauf) dan harap (al-raja’), Zikir Kalbu itu
pembenaran (al-shidiq) dan pembersihan (ash-shifa’), Zikir Akal itu
pengagungan (at-ta’zhim) dan malu (al-haya’), Zikir Ma’rifat itu
penyerahan diri (at-taslim) dan rela (ar-ridha’), Zikir Sirr (Dzikr
al-Sirr) itu memandang (al-ru-u’yat) dan berjumpa (al-liqa’)” 1]
TINGKATAN PERTAMA : ZIKIR LISAN
Imam ash-Shadiq as berkata, ”Zikir Lisan itu puja (al-hamd) dan puji (ats-tsana’). Pertama-tama
yang mesti dilakukan oleh seseorang yang sedang melakukan latihan
zikir, adalah membiasakan lidahnya untuk selalu berzikir.
Ia
harus senantiasa berzikir tanpa henti di mana pun ia berada dan kapan
pun keadaannya. Pada tingkatan ini, zikir diwujudkan oleh lisan dalam
bentuk pujaan dan pujian yang ditujukan hanya kepada Allah SwT.
Kata “al-Hamd
– segala puji-” yang diucapkan lidahnya muncul dari persaksian atas
Karunia Allah kepada sang hamba. Sang hamba mesti bersaksi dan mulai
benar-benar menyadari bahwa Dia-lah yang telah melimpahkan semua karunia
yang diterimanya. 2] Oleh karena itu, sang hamba mesti selalu mentaati-Nya di mana pun dan kapan pun ia berada.
TINGKATAN KEDUA : ZIKIR JIWA (DZIKR AL-NAFS)
Imam al-Shadiq as mengatakan, ”Zikir Jiwa itu adalah mewujudkan kesungguhan (al-juhd) dan kemauan yang keras (al-‘ana)”.
Pada tingkatan Dzikr al-Nafs
ini, sang pezikir mesti mulai melatih untuk menguatkan jiwanya dengan
kesungguhan dan kemauan yang keras agar selalu terjaga dari alpa dan
kelalaian. Nafs sang hamba mesti senatiasa terjaga dalam
kondisi zikir dan mengingat-Nya. Dengan kesungguhan dan kemauan yang
kuat, sang hamba harus menundukkan nafs (diri) –nya untuk tetap berzikir
(baca : ta’at) kepada Tuhannya.
Seseorang
yang berpikir bahwa dirinya akan dapat menyingkap rahasia-rahasia dan
mencapai Hakikat-Nya tanpa bermujahadah (kesungguhan) maka dia hanyalah
berangan-angan. Karena awal perjalanan ruhani itu adalah mujahadah.
Barangsiapa yang tidak memiliki kesungguhan (mujahadah) di jalan-Nya niscaya tidak akan memperoleh Cahaya dari-Nya. 3]
Kehendak dan kesungguhan adalah esensi kemanusiaan dan kriteria
kebebasan manusia. Perbedaan derajat manusia adalah sesuai dengan
perbedaan tingkat kehendak dan kesungguhan masing-masing manusia. 4]
Dengan kata lain tingkat kemanusiaan (insaniyyah)
seseorang dapat diukur dari kuat lemah kesungguhan dan kemauan diri
(nafs)-nya untuk tidak lalai dan senantiasa mengingat-Nya di dalam
mencapai peringkat-peringkat ruhani di jalan-Nya.
“Dan orang-orang yang berjihad (bersungguh-sungguh)
di jalan Kami niscaya benar-benar akan Kami tunjukkan
kepada mereka jalan-jalan Kami.
Dan sesungguhnya Allah benar-benar
beserta orang-orang yang berbuat baik (ihsan)”
(QS 29 : 69)
TINGKATAN KETIGA : ZIKIR RUH
Imam ash-Shadiq as berkata, ”Zikir Ruh itu takut (al-khauf) dan harap (al-raja’)”.
Tingkatan Zikir Ruh
adalah Tingkatan ketika Ruh berzikir kepada-Allah sampai muncul hasil
dari zikirnya itu rasa takut kepada Allah Swt yang sedemikian rupa
sehingga seorang hamba merasa jika ia datang kepada-Nya dengan kebajikan
(birr) dari 2 dunia (jin dan manusia), dia merasa akan tetap
dihukum oleh-Nya dan pada saat yang bersamaan muncul pula rasa harap
yang sedemikian rupa sehingga jika ia datang ke hadapan-Nya dengan dosa 2
dunia, maka Dia akan tetap mengasihinya (dengan ampunan-Nya) 5]
Sesungguhnya tingkatan (maqam)
“khauf dan raja’” ini merupakan tingkatan ruhani yang cukup tinggi.
Karena tidak akan muncul rasa takut di dalam hati seseorang melainkan
karena kesempurnaan pengetahuannya tentang Tuhan. Al-Qur’an Yang Mulia
mengatakan, ”Sesungguhnya yang takut kepada Allah di antara hamba-hamba-Nya hanyalah orang-orang yang memiliki ilmu” (QS 35 : 28).
Hanya mereka yang memiliki ilmu yang bermanfaatlah yang memperoleh rasa takut kepada Tuhannya Yang Maha Perkasa.
Namun rasa takut tidaklah hanya terungkap di dalam kata-kata atau
munajat, tetapi juga mewujud di dalam setiap amal perbuatan dan
ibadah-ibadahnya.
Imam Ali as berkata, ”Aku
heran dengan orang yang (mengaku) takut pada siksa (Neraka) tetapi ia
tidak menahan diri (dari dosa). Dan aku heran dengan orang yang
mengharapkan ganjaran pahala (tsawaab) namun ia tidak bertaubat dan
melakukan amal shalih.” 6]
Dan adapun orang-orang yang takut
kepada kedudukkan Tuhannya
dan menahan dirinya dari hawa nafsu
maka Surga-lah tempat tinggalnya
(QS 79 : 40-41)
TINGKATAN KEEMPAT : ZIKIR KALBU (DZIKR AL-QALB)
Imam ash-Shadiq as berkata, ”Zikir Kalbu itu pembenaran (al-shidiq) dan pembersihan (ash-shifa’)”.
Tingkatan ini lebih tinggi dari tingkatan sebelumnya. Diriwayatkan bahwa Rasulullah saww bersabda, ”Janganlah
kamu melihat shalat-shalat mereka, puasa-puasa mereka dan banyaknya
hajji dan kebaikan mereka, bahkan ibadah malam mereka. Tetapi hendaklah
kamu lihat (sejauh mana) kebenaran kata-kata dan penunaian amanat
(mereka).” 7]
Jangan sampai kita tertipu karena kita hanya mengandalkan amalan lahiriyah kita (fiqih) namun melupakan amalan batiniyah (akhlaq).
Banyak kita lihat orang-orang yang rajin melakukan shalat, berpuasa
bahkan pergi hajji berkali-kali ke Baitullah namun ternyata mereka
adalah para pendusta, penipu, koruptor dan para pengkhianat bangsa dan
agama. (Kita berlindung dari amalan yang seperti itu).
Syahadat yang kita ucapkan di dalam shalat kita, sudah semestinya tidak
hanya diucapkan dengan lidah saja, syahadat juga mesti diaplikasikan
dalam kehidupan sehari-hari.
Imam Ali as mengatakan di dalam khutbahnya, ”Pokok
pangkal agama itu adalah mengenal Allah, dan kesempurnaan dari ma’rifat
kepada-Nya adalah pembenaran atas-Nya, dan kesempurnaan dari pembenaran
atas-Nya adalah meng-Esakan-Nya dan kesempurnaan peng-Esa-an-Nya adalah
mengikhlashkan (pengabdian) kepada-Nya, dan kesempurnaan dari
pengikhlashan kepada-Nya adalah menafikan semua sifat yang dinisbatkan
kepada-Nya.” 8]
Zikir Kalbu ini adalah pembenaran atas ke-Esa-an-Nya, yaitu ketika sang pezikir sudah mencapai maqam musyahadah
(penyaksian). Sang pezikir menyaksikan dengan mata batinnya akan
Wujud-Nya Yang Tunggal sehingga ia pun membenarkan Sang Realitas seraya
membersihkan hatinya dari penisbatas sifat-sifat yang tidak layak
bagi-Nya.
“Maha Suci Tuhanmu Yang Memiliki Keperkasaan
dari apa yang mereka sifatkan (kepada-Nya)”
(QS Al-Shâffât 37 : 180)
TINGKATAN KELIMA : ZIKIR AKAL (DZIKR AL-AQL)
Imam al-Shadiq as berkata, ”Zikir Akal itu pengagungan (at-ta’zhim) dan malu (al-haya’)”.
Agaknya maksud akal di dalam hadits ini bukanlah sekadar akal rasional,
namun akal ke’arifan. Di dalam sebuah hadits lainnya, Imam Ali as
berkata, ”Perumpamaan akal di dalam hati (al-qalb) adalah seperti lampu di tengah-tengah sebuah rumah.” 9]
Akal yang berada dalam hati ini hanya bisa bercahaya dan menyinari alam syuhud dan alam ma’nawi jika ‘digosok’ dan ‘dipoles’ dengan tadzakkur dan tafakkur.
Cahaya akal ini akan menyingkap tabir-tabir kegelapan yang menutupi
diri sang pejalan ruhani dari Al-Haqq sehingga ia dapat menyaksikan
Keagungan (al-Jalal)-Nya dan Keindahan(Al-Jamal)-Nya dan terpancarlah rasa pengagungan (ta’zhim) kepada-Nya.
Sebiji mata yang melihat
lebih baik ketimbang ratusan tongkat orang buta.
Mata dapat membedakan
permata dari kerikil
(Rumi, Matsnawi VI : 3785)
TINGKATAN KEENAM : ZIKIR MA’RIFAT
Imam al-Shadiq as mengatakan, ”Zikir Ma’rifat itu penyerahan diri (at-taslim) dan rela (ar-ridha’)”.
Zikir ini lebih tinggi dari Zikir Akal. Setelah tadzakkur dan tafakkur
muncullah ma’rifat. Ma’rifat kepada-Nya inilah yang membuatnya terdorong
untuk berserah diri secara total (taslim) dan rela atas segala tindakan dan keputusan-Nya atas dirinya.
Imam al-Shadiq as berkata, ”Sesungguhnya manusia yang paling mengenal Allah adalah mereka yang ridha akan Qadha (ketentuan) Allah ‘Azza wa Jalla.” 10]
Di dalam sebuah Hadits Qudsi disebutkan bahwa Allah ‘Azza wa Jalla berfirman kepada Nabi Musa as : “Sesungguhnya
engkau sekali-kali tidak akan mampu mendekati-Ku dengan sesuatu yang
lebih Aku cintai ketimbang sikap ridha dengan Ketentuan (Qadla’)–Ku” 11]
Dan melalui penyingkapan–diri-Nya di dalam pancaran cahaya,
Dia menunjukkan keterbatasan kemampuan (penglihatan) mata
serta kekuatan rasional,
menjadikannya melampaui kekuatan (penglihatan) mata
Jadi, segala sesuatu memiliki keterbatasan,
hanya Tuhan yang memiliki Kesempurnaan Esensi
(Ibn ‘Arabi, Futuhat al-Makkiyyah II : 632.29)
TINGKATAN KETUJUH : ZIKIR SIRR
Imam al-Shadiq as berkata, ”Zikir Sirr itu memandang (al-ru-u’yat) dan berjumpa (al-liqa’)”.
Inilah tingkatan zikir yang paling tinggi! Tapi apakah sebenarnya Sirr itu? Sebagian kaum ‘urafa menyebut Sirr (Rahasia) sebagai Habb, yang secara harfiah berarti biji. Sirr atau Habb ini merupakan inti dari Lubb. Dan Lubb ini adalah inti dari Qalb (hati) 12]
Jadi, Sirr adalah bagian yang terdalam dan terhalus dari hati. 13]. Habb atau Sirr inilah tempat bersemayamnya Cinta yang bersifat ruhani. (Hubb)
Adapun Zikir Sirr adalah Zikir yang muncul setelah tahapan Zikir
Ma’rifat terlampaui. Jika seorang pezikir telah sepenuhnya berserah diri
dan ridha kepada semua Qadla-Nya maka sampailah ia pada tahapan
memandang Yang Terkasih setelah berjumpa (liqa’)dengan-Nya, yang kemudian Cinta (Mahabbah) pun bersemi.
Imam Ali al-Murtadha as bermunajat:
Ya Allah, Tuhanku…
Engkaulah yang paling terpaut pada pencinta-Mu
Dan yang paling bersedia menolong orang-orang
yang bertawakkal kepada-Mu.
Engkau melihat,
Engkau menguji rahasia-rahasia (saraa-i-rihim) mereka,
dan mengetahui apa yang bersemayam dalam kesadaran mereka,
dan menyadari sampai ke tingkat penglihatan batin mereka.
Akibatnya rahasia-rahasia mereka terbuka bagi-Mu,
dan kalbu-kalbu mereka memuji-Mu
dalam kerawanan yang sungguh-sungguh.
Dalam kesunyian, teman dan pelipur lara mereka
adalah dengan berzikir kepada-Mu
dan penderitaan, bantuan-Mu adalah pelindung mereka. 14]
Sumber: http://qitori.wordpress.com/
Catatan Kaki :
-
Mustadrak al-Wasail 1 : 401
-
Syaikh Fadlallah Haeri, Takwil Filosofis, Yasin dan Al-Fatihah, hal. 5, Penerbit CV. Rajawali, Cet. I, Mei 1987
-
Al-Qusyairi, Risalah al-Qusyairi, Edisi Terjemahan. Hal. 87, Penerbit Risalah Gusti, Cet. II, Oktober 1997.
-
Imam Khomeini, Empat Puluh Hadits, Bab Jihad an-Nafs, hal. 14, Penerbit Mizan, Cet. II, Th. 1993.
-
Ibid, Bab Takut dan Harap.
-
Muhammad Baqir al-Majilisi, Bihar al-Anwar 77 : 237
- Bihar al-Anwar 71 : 9
- Nahjul Balaghah, Khutbah : 1
- Bihar al-Anwar 1 : 99
- Mizan al-Hikmah 6 :159
- Muhyiddin Ibn ‘Arabi, Misykat al-Anwar, Hadits ke 20
- Annemarie Schimmel,
Mystical Dimension of Islam, h. 60, Catatan Kaki dari Dr. Sara Sviri di
dalam bukunya “Demikianlah Kaum Sufi Berbicara” hal. 21.
- Al-Qusyairi, Risalah Qusyairiyah, hal. 76.
- Syarif Radhi, Nahjul Balaghah, Khutbah Imam Ali as no. 227, hal. 349
Quito R. Motinggo
Imam ash-Shadiq as berkata, “Zikir Lisan itu puja (al-hamd) dan puji (ats-tsana’), Zikir Jiwa (Dzikr
al-Nafs) itu kesungguhan (al-juhd) dan kemauan yang keras (al-‘ana’),
Zikir Ruh itu takut (al-khauf) dan harap (al-raja’), Zikir Kalbu itu
pembenaran (al-shidiq) dan pembersihan (ash-shifa’), Zikir Akal itu
pengagungan (at-ta’zhim) dan malu (al-haya’), Zikir Ma’rifat itu
penyerahan diri (at-taslim) dan rela (ar-ridha’), Zikir Sirr (Dzikr
al-Sirr) itu memandang (al-ru-u’yat) dan berjumpa (al-liqa’)” 1]
TINGKATAN PERTAMA : ZIKIR LISAN
Imam ash-Shadiq as berkata, ”Zikir Lisan itu puja (al-hamd) dan puji (ats-tsana’). Pertama-tama
yang mesti dilakukan oleh seseorang yang sedang melakukan latihan
zikir, adalah membiasakan lidahnya untuk selalu berzikir.
Ia
harus senantiasa berzikir tanpa henti di mana pun ia berada dan kapan
pun keadaannya. Pada tingkatan ini, zikir diwujudkan oleh lisan dalam
bentuk pujaan dan pujian yang ditujukan hanya kepada Allah SwT.
Kata “al-Hamd
– segala puji-” yang diucapkan lidahnya muncul dari persaksian atas
Karunia Allah kepada sang hamba. Sang hamba mesti bersaksi dan mulai
benar-benar menyadari bahwa Dia-lah yang telah melimpahkan semua karunia
yang diterimanya. 2] Oleh karena itu, sang hamba mesti selalu mentaati-Nya di mana pun dan kapan pun ia berada.
TINGKATAN KEDUA : ZIKIR JIWA (DZIKR AL-NAFS)
Imam al-Shadiq as mengatakan, ”Zikir Jiwa itu adalah mewujudkan kesungguhan (al-juhd) dan kemauan yang keras (al-‘ana)”.
Pada tingkatan Dzikr al-Nafs
ini, sang pezikir mesti mulai melatih untuk menguatkan jiwanya dengan
kesungguhan dan kemauan yang keras agar selalu terjaga dari alpa dan
kelalaian. Nafs sang hamba mesti senatiasa terjaga dalam
kondisi zikir dan mengingat-Nya. Dengan kesungguhan dan kemauan yang
kuat, sang hamba harus menundukkan nafs (diri) –nya untuk tetap berzikir
(baca : ta’at) kepada Tuhannya.
Seseorang
yang berpikir bahwa dirinya akan dapat menyingkap rahasia-rahasia dan
mencapai Hakikat-Nya tanpa bermujahadah (kesungguhan) maka dia hanyalah
berangan-angan. Karena awal perjalanan ruhani itu adalah mujahadah.
Barangsiapa yang tidak memiliki kesungguhan (mujahadah) di jalan-Nya niscaya tidak akan memperoleh Cahaya dari-Nya. 3]
Kehendak dan kesungguhan adalah esensi kemanusiaan dan kriteria
kebebasan manusia. Perbedaan derajat manusia adalah sesuai dengan
perbedaan tingkat kehendak dan kesungguhan masing-masing manusia. 4]
Dengan kata lain tingkat kemanusiaan (insaniyyah)
seseorang dapat diukur dari kuat lemah kesungguhan dan kemauan diri
(nafs)-nya untuk tidak lalai dan senantiasa mengingat-Nya di dalam
mencapai peringkat-peringkat ruhani di jalan-Nya.
“Dan orang-orang yang berjihad (bersungguh-sungguh)
di jalan Kami niscaya benar-benar akan Kami tunjukkan
kepada mereka jalan-jalan Kami.
Dan sesungguhnya Allah benar-benar
beserta orang-orang yang berbuat baik (ihsan)”
(QS 29 : 69)
di jalan Kami niscaya benar-benar akan Kami tunjukkan
kepada mereka jalan-jalan Kami.
Dan sesungguhnya Allah benar-benar
beserta orang-orang yang berbuat baik (ihsan)”
(QS 29 : 69)
TINGKATAN KETIGA : ZIKIR RUH
Imam ash-Shadiq as berkata, ”Zikir Ruh itu takut (al-khauf) dan harap (al-raja’)”.
Tingkatan Zikir Ruh
adalah Tingkatan ketika Ruh berzikir kepada-Allah sampai muncul hasil
dari zikirnya itu rasa takut kepada Allah Swt yang sedemikian rupa
sehingga seorang hamba merasa jika ia datang kepada-Nya dengan kebajikan
(birr) dari 2 dunia (jin dan manusia), dia merasa akan tetap
dihukum oleh-Nya dan pada saat yang bersamaan muncul pula rasa harap
yang sedemikian rupa sehingga jika ia datang ke hadapan-Nya dengan dosa 2
dunia, maka Dia akan tetap mengasihinya (dengan ampunan-Nya) 5]
Sesungguhnya tingkatan (maqam)
“khauf dan raja’” ini merupakan tingkatan ruhani yang cukup tinggi.
Karena tidak akan muncul rasa takut di dalam hati seseorang melainkan
karena kesempurnaan pengetahuannya tentang Tuhan. Al-Qur’an Yang Mulia
mengatakan, ”Sesungguhnya yang takut kepada Allah di antara hamba-hamba-Nya hanyalah orang-orang yang memiliki ilmu” (QS 35 : 28).
Hanya mereka yang memiliki ilmu yang bermanfaatlah yang memperoleh rasa takut kepada Tuhannya Yang Maha Perkasa.
Namun rasa takut tidaklah hanya terungkap di dalam kata-kata atau
munajat, tetapi juga mewujud di dalam setiap amal perbuatan dan
ibadah-ibadahnya.
Imam Ali as berkata, ”Aku
heran dengan orang yang (mengaku) takut pada siksa (Neraka) tetapi ia
tidak menahan diri (dari dosa). Dan aku heran dengan orang yang
mengharapkan ganjaran pahala (tsawaab) namun ia tidak bertaubat dan
melakukan amal shalih.” 6]
Dan adapun orang-orang yang takut
kepada kedudukkan Tuhannya
dan menahan dirinya dari hawa nafsu
maka Surga-lah tempat tinggalnya
(QS 79 : 40-41)
kepada kedudukkan Tuhannya
dan menahan dirinya dari hawa nafsu
maka Surga-lah tempat tinggalnya
(QS 79 : 40-41)
TINGKATAN KEEMPAT : ZIKIR KALBU (DZIKR AL-QALB)
Imam ash-Shadiq as berkata, ”Zikir Kalbu itu pembenaran (al-shidiq) dan pembersihan (ash-shifa’)”.
Tingkatan ini lebih tinggi dari tingkatan sebelumnya. Diriwayatkan bahwa Rasulullah saww bersabda, ”Janganlah kamu melihat shalat-shalat mereka, puasa-puasa mereka dan banyaknya hajji dan kebaikan mereka, bahkan ibadah malam mereka. Tetapi hendaklah kamu lihat (sejauh mana) kebenaran kata-kata dan penunaian amanat (mereka).” 7]
Jangan sampai kita tertipu karena kita hanya mengandalkan amalan lahiriyah kita (fiqih) namun melupakan amalan batiniyah (akhlaq).
Banyak kita lihat orang-orang yang rajin melakukan shalat, berpuasa
bahkan pergi hajji berkali-kali ke Baitullah namun ternyata mereka
adalah para pendusta, penipu, koruptor dan para pengkhianat bangsa dan
agama. (Kita berlindung dari amalan yang seperti itu).
Syahadat yang kita ucapkan di dalam shalat kita, sudah semestinya tidak
hanya diucapkan dengan lidah saja, syahadat juga mesti diaplikasikan
dalam kehidupan sehari-hari.
Imam Ali as mengatakan di dalam khutbahnya, ”Pokok
pangkal agama itu adalah mengenal Allah, dan kesempurnaan dari ma’rifat
kepada-Nya adalah pembenaran atas-Nya, dan kesempurnaan dari pembenaran
atas-Nya adalah meng-Esakan-Nya dan kesempurnaan peng-Esa-an-Nya adalah
mengikhlashkan (pengabdian) kepada-Nya, dan kesempurnaan dari
pengikhlashan kepada-Nya adalah menafikan semua sifat yang dinisbatkan
kepada-Nya.” 8]
Zikir Kalbu ini adalah pembenaran atas ke-Esa-an-Nya, yaitu ketika sang pezikir sudah mencapai maqam musyahadah
(penyaksian). Sang pezikir menyaksikan dengan mata batinnya akan
Wujud-Nya Yang Tunggal sehingga ia pun membenarkan Sang Realitas seraya
membersihkan hatinya dari penisbatas sifat-sifat yang tidak layak
bagi-Nya.
“Maha Suci Tuhanmu Yang Memiliki Keperkasaan
dari apa yang mereka sifatkan (kepada-Nya)”
(QS Al-Shâffât 37 : 180)
dari apa yang mereka sifatkan (kepada-Nya)”
(QS Al-Shâffât 37 : 180)
TINGKATAN KELIMA : ZIKIR AKAL (DZIKR AL-AQL)
Imam al-Shadiq as berkata, ”Zikir Akal itu pengagungan (at-ta’zhim) dan malu (al-haya’)”.
Agaknya maksud akal di dalam hadits ini bukanlah sekadar akal rasional, namun akal ke’arifan. Di dalam sebuah hadits lainnya, Imam Ali as berkata, ”Perumpamaan akal di dalam hati (al-qalb) adalah seperti lampu di tengah-tengah sebuah rumah.” 9]
Akal yang berada dalam hati ini hanya bisa bercahaya dan menyinari alam syuhud dan alam ma’nawi jika ‘digosok’ dan ‘dipoles’ dengan tadzakkur dan tafakkur.
Cahaya akal ini akan menyingkap tabir-tabir kegelapan yang menutupi
diri sang pejalan ruhani dari Al-Haqq sehingga ia dapat menyaksikan
Keagungan (al-Jalal)-Nya dan Keindahan(Al-Jamal)-Nya dan terpancarlah rasa pengagungan (ta’zhim) kepada-Nya.
Sebiji mata yang melihat
lebih baik ketimbang ratusan tongkat orang buta.
Mata dapat membedakan
permata dari kerikil
(Rumi, Matsnawi VI : 3785)
lebih baik ketimbang ratusan tongkat orang buta.
Mata dapat membedakan
permata dari kerikil
(Rumi, Matsnawi VI : 3785)
TINGKATAN KEENAM : ZIKIR MA’RIFAT
Imam al-Shadiq as mengatakan, ”Zikir Ma’rifat itu penyerahan diri (at-taslim) dan rela (ar-ridha’)”. Zikir ini lebih tinggi dari Zikir Akal. Setelah tadzakkur dan tafakkur muncullah ma’rifat. Ma’rifat kepada-Nya inilah yang membuatnya terdorong untuk berserah diri secara total (taslim) dan rela atas segala tindakan dan keputusan-Nya atas dirinya.
Imam al-Shadiq as berkata, ”Sesungguhnya manusia yang paling mengenal Allah adalah mereka yang ridha akan Qadha (ketentuan) Allah ‘Azza wa Jalla.” 10]
Di dalam sebuah Hadits Qudsi disebutkan bahwa Allah ‘Azza wa Jalla berfirman kepada Nabi Musa as : “Sesungguhnya
engkau sekali-kali tidak akan mampu mendekati-Ku dengan sesuatu yang
lebih Aku cintai ketimbang sikap ridha dengan Ketentuan (Qadla’)–Ku” 11]
Dan melalui penyingkapan–diri-Nya di dalam pancaran cahaya,
Dia menunjukkan keterbatasan kemampuan (penglihatan) mata
serta kekuatan rasional,
menjadikannya melampaui kekuatan (penglihatan) mata
Jadi, segala sesuatu memiliki keterbatasan,
hanya Tuhan yang memiliki Kesempurnaan Esensi
(Ibn ‘Arabi, Futuhat al-Makkiyyah II : 632.29)
Dia menunjukkan keterbatasan kemampuan (penglihatan) mata
serta kekuatan rasional,
menjadikannya melampaui kekuatan (penglihatan) mata
Jadi, segala sesuatu memiliki keterbatasan,
hanya Tuhan yang memiliki Kesempurnaan Esensi
(Ibn ‘Arabi, Futuhat al-Makkiyyah II : 632.29)
TINGKATAN KETUJUH : ZIKIR SIRR
Imam al-Shadiq as berkata, ”Zikir Sirr itu memandang (al-ru-u’yat) dan berjumpa (al-liqa’)”.
Inilah tingkatan zikir yang paling tinggi! Tapi apakah sebenarnya Sirr itu? Sebagian kaum ‘urafa menyebut Sirr (Rahasia) sebagai Habb, yang secara harfiah berarti biji. Sirr atau Habb ini merupakan inti dari Lubb. Dan Lubb ini adalah inti dari Qalb (hati) 12]
Jadi, Sirr adalah bagian yang terdalam dan terhalus dari hati. 13]. Habb atau Sirr inilah tempat bersemayamnya Cinta yang bersifat ruhani. (Hubb)
Adapun Zikir Sirr adalah Zikir yang muncul setelah tahapan Zikir
Ma’rifat terlampaui. Jika seorang pezikir telah sepenuhnya berserah diri
dan ridha kepada semua Qadla-Nya maka sampailah ia pada tahapan
memandang Yang Terkasih setelah berjumpa (liqa’)dengan-Nya, yang kemudian Cinta (Mahabbah) pun bersemi.
Imam Ali al-Murtadha as bermunajat:
Ya Allah, Tuhanku…
Engkaulah yang paling terpaut pada pencinta-Mu
Dan yang paling bersedia menolong orang-orang
yang bertawakkal kepada-Mu.
Engkau melihat,
Engkau menguji rahasia-rahasia (saraa-i-rihim) mereka,
dan mengetahui apa yang bersemayam dalam kesadaran mereka,
dan menyadari sampai ke tingkat penglihatan batin mereka.
Akibatnya rahasia-rahasia mereka terbuka bagi-Mu,
dan kalbu-kalbu mereka memuji-Mu
dalam kerawanan yang sungguh-sungguh.
Dalam kesunyian, teman dan pelipur lara mereka
adalah dengan berzikir kepada-Mu
dan penderitaan, bantuan-Mu adalah pelindung mereka. 14]
Ya Allah, Tuhanku…
Engkaulah yang paling terpaut pada pencinta-Mu
Dan yang paling bersedia menolong orang-orang
yang bertawakkal kepada-Mu.
Engkau melihat,
Engkau menguji rahasia-rahasia (saraa-i-rihim) mereka,
dan mengetahui apa yang bersemayam dalam kesadaran mereka,
dan menyadari sampai ke tingkat penglihatan batin mereka.
Akibatnya rahasia-rahasia mereka terbuka bagi-Mu,
dan kalbu-kalbu mereka memuji-Mu
dalam kerawanan yang sungguh-sungguh.
Dalam kesunyian, teman dan pelipur lara mereka
adalah dengan berzikir kepada-Mu
dan penderitaan, bantuan-Mu adalah pelindung mereka. 14]
Sumber: http://qitori.wordpress.com/
Catatan Kaki :
- Mustadrak al-Wasail 1 : 401
- Syaikh Fadlallah Haeri, Takwil Filosofis, Yasin dan Al-Fatihah, hal. 5, Penerbit CV. Rajawali, Cet. I, Mei 1987
- Al-Qusyairi, Risalah al-Qusyairi, Edisi Terjemahan. Hal. 87, Penerbit Risalah Gusti, Cet. II, Oktober 1997.
- Imam Khomeini, Empat Puluh Hadits, Bab Jihad an-Nafs, hal. 14, Penerbit Mizan, Cet. II, Th. 1993.
- Ibid, Bab Takut dan Harap.
- Muhammad Baqir al-Majilisi, Bihar al-Anwar 77 : 237
- Bihar al-Anwar 71 : 9
- Nahjul Balaghah, Khutbah : 1
- Bihar al-Anwar 1 : 99
- Mizan al-Hikmah 6 :159
- Muhyiddin Ibn ‘Arabi, Misykat al-Anwar, Hadits ke 20
- Annemarie Schimmel, Mystical Dimension of Islam, h. 60, Catatan Kaki dari Dr. Sara Sviri di dalam bukunya “Demikianlah Kaum Sufi Berbicara” hal. 21.
- Al-Qusyairi, Risalah Qusyairiyah, hal. 76.
- Syarif Radhi, Nahjul Balaghah, Khutbah Imam Ali as no. 227, hal. 349
0 komentar:
Posting Komentar