Uqudul Juman berasal dari bahasa arab yaitu uqud dan Juman. “Uqud”
merupakan bentuk jamak dari “Aqd” yang artinya ikatan, rangkaian.
Sedangkan “juman” merupakan bentuk jamak dari “Jumanah” yang berarti
mutiara. Berarti “uqudul Juman” artinya rangkaian mutiara karena memang
berbagai bacaan yang terkandung dalam Uqudul Juman adalah merupakan
mutiara-mutiara yang tinggi nilainya.
Uqudul Juman adalah kitab
kecil yang muatan kandungannya sangat besar dan bermanfaat bagi yang
mengamalkannya, merupakan salah satu dari Syaikhinal Mukarrom Syaikh KH
Abdullah Mubarok bin Nur Muhammad R.a, ABAH SEPUH yg dilanjutkan oleh Sayyidina Syech Shohibul Wafa Tajul Arifin RA (ABAH ANOM)
Mutiara yang terkandung dalam Uqudul
Juman antara lain adalah Al-Qur’an misalnya surat Al-Ikhlash, Tahmid
dengan membaca Fatihah, Tasbih misalnya “Lailaha illa Anta Subhanaka
inni kuntu minadzhalimin” Shalawat misalnya shalawat Ummi, Istighfar,
Asma’ul Husna dan lain-lain.
Adapun yang mewakili Asmaul Husna
dalam Uqudul Juman adalah kata “Lathief” yang berarti yang Maha Lembut.
Rahasia mengapa yang dicantumkan dalam Uqudul Juman adalah kata
“Lathief” dan mengapa jumlahnya 16641 yang mengetahui tentunya adalah
Syaikhinal Mukarom . Adapun kita hanya bisa meraba apa rahasia dibalik
semua itu.
Ada suatu pendapat yang mengatakan bahwa “Lathief”
merupakan ringkasan dari 99 Asma’ul Husna, jadi “Lathief” dapat
digunakan untuk mewakili Asma’ul Husna.
Terlepas dari benar
atau tidaknya pendapat tersebut yang jelas “Lathief” mewakili Asma’ul
Husna bukan hanya pada Uqudul Juman saja tetapi juga pada wirid lainnya
seperti Tahlil, Ilmu Shalawat 44342 dan lain-lain. Di samping itu
kalimat yang berada di tengah Al-Qur’an adalah “walyatalatthaf” (dan
hendaklah bersikap lembut. Q.S. Al-Kahfi : 19) yang berasal dari akar
kata yang sama dengan “Lathief” yaitu “Luthfu”.
Makna “Lathief”
Dalam bahasa Arab jika ada dua kata yang terdiri dari huruf yang sama
biasanya memiliki kaitan yang erat. Misalnya kata Ilmu (’ain, lam, mim)
dengan amal (’ain, mim, lam). Ilmu tanpa amal bagaikan pohon yang tak
berbuah, sedangkan amal tanpa ilmu tidak akan sempurna, sehingga ilmu
tidak boleh dipisahkan dengan amal. Contoh lain “mar’atun” (artinya
perempuan) dengan mir’atun (artinya cermin). Artinya bahwa wanita tidak
boleh jauh dari cermin, karena salah satu ciri wanita shalihah adalah
jika engkau melihatnya membuatmu senang artinya enak dan tentram
dipandang. Contoh lainnya adalah rojulun (laki-laki) dengan rijlun
(kaki), seorang lelaki harus mengandalkan kakinya artinya harus dinamis,
kreatif dan inovatif, bertebaran di muka bumi untuk mencari karunia
Allah, rajin mencari wawasan, tidak hanya statis dan banyak berdiam di
rumah. Sebagaimana tertera dalam surat Al-Jumu’ah ayat 10
فَإِذَا قُضِيَتِ الصَّلَاةُ فَانْتَشِرُوا فِي الْأَرْضِ وَابْتَغُوا مِنْ
فَضْلِ اللَّهِ وَاذْكُرُوا اللَّهَ كَثِيرًا لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُونَ
Apabila telah ditunaikan sembahyang, maka bertebaranlah kamu di muka
bumi; dan carilah karunia Allah dan ingatlah Allah banyak-banyak supaya
kamu beruntung. (Q.S. Al-Jumu’ah ayat 10)
Begitu pula “Luthfun”
(lam, tha, fa yang artinya kelembutan) dengan “Thiflun” (tha, fa, lam
yang artinya anak bayi) memiliki kaitan yang erat. Artinya bahwa jika
kita ingin mengetahui kelembutan, maka lihatlah sikap kita terhadap anak
bayi, pasti kita bersikap lembut.
Contohnya jika kita baru
saja selesai mengepel lantai lalu anak kita membuang air besar di lantai
yang bersih kemudian menangislah ia, maka sikap kita bukannya memarahi
anak tersebut tetapi malah memujinya misalnya dengan kata-kata “Eee!
anak pintar, nangis itu ceritanya ngasih tahu yah”. Meskipun menurut
ukuran umum itu merupakan kesalahan tetapi kita tetap saja berlaku
lembut dengan memujinya dan menjaga perasaannya agar tidak terluka.
Yang baru saja kita lakukan adalah “menyelesaikan masalah tanpa
masalah” dan itulah tradisi sufi. Seandainya mereka terlihat apatis dan
tidak peduli terhadap kemungkaran, sebenarnya mereka sedang mencoba
menyelesaikan masalah tanpa menimbulkan masalah baru dengan metode yang
halus namun efektif. Itulah sikap yang “Lathief”. Amar makruf pun
dilakukan dengan cara yang halus. Sampai ada symbol bagi metode
pengislaman ala walisongo yaitu “bulus” (kura-kura -bahasa Jawa) yang
merupakan singkatan dari “melebu tapi alus” (masuk tetapi halus –Bahasa
Jawa). “Lathief” mengedepankan “menyelesaikan masalah tanpa masalah”
Begitu pula sikap Allah kepada kita yang sering berbuat maksiat, sering
mendurhakai bahkan menyalah gunakan nikmat Allah kepada kita. Tetapi
tetap saja Allah bersikap “Lathief” dengan tak bosan-bosannya memberikan
karunia kepada kita bahkan terkadang tanpa teguran sehingga kita merasa
menjadi orang yang terpuji dan merasa telah berbuat yang benar.
Contoh lain ketika anak bayi yang sedang “khusyu” memegang pisau yang
tajam yang dapat membahayakan dirinya. Kita ingin menyelamatkannya dari
pisau itu, namun jika kita merebutnya, anak tersebut pasti menangis.
Karena dia tidak mengetahui bahwa ada bahaya yang besar di balik
memegang pisau itu, dan merebut pisau darinya merupakan tindakan
penyelamatan dan kasih sayang baginya, tetapi yang jelas dia akan kecewa
dan menangis jika kesenangannya direbut. Maka kita harus tetap
mengedepankan sikap “Lathief” misalnya merayunya dengan kata-kata dan
tindakan yang tidak tidak melukai hatinya tetapi efektif. Misalnya “anak
pintar mama pinjam dulu yah pisaunya”. Karena merasa dipuji dan tidak
direbut haknya, akhirnya anak tersebut menyerahkan pisau itu. sikap yang
“Lathief” mengedepankan “win–win Solution”, jalan keluar yang memuaskan
kedua belah pihak.
Begitu pula dengan kita. Jika titipan Allah
(baik harta maupun anak) diambil kembali oleh Allah, kalau kita tidak
dapat mempertahankannya harus kita yakini bahwa bisa jadi itu merupakan
kasih sayang Allah yang ingin menyelamatkan hambanya dari bahaya. Tetapi
terkadang kita sulit menerimanya.
Kata khotaman berasal dari
kata “khatama yakhtumu khataman” artinya selesai/ menyelesaikan. Maksud
khataman dalam TQN adalah menyelesaikan atau menamatkan pembacaan aurad
(wirid-wirid) yang menjadi ajaran TQN pada waktu-waktu tertentu
Wirid-wirid tersebut minimal
dibaca secara keseluruan satu kali dalam seminggu. Amalan mingguan itu
terdapat dalam buku yang dihimpun oleh guru mursyid yang berisi dzikir,
shalawat, do’a-do’a dan bacaan yang biasa diamalkan oleh Rasulullah dan
para sahabatnya.
Diambil dari status Ustadz Abdul Ghofur (Depok Tqn)
Posted in: Uqudul Juman
0 komentar:
Posting Komentar